Penulis: Jessica Day George
Penerbit: Atria
Dua belas putri, satu kutukan, berdansa atau mati. Novel ini dibuat berdasarkan dongeng klasik Brother Grimm ‘Twelve Dancing Princesses’. Alkisah di negeri Westfalin, Ratu Maude sangat mendambakan kehadiran seorang anak. Berbagai upaya yang tak kunjung membuahkan hasil mendorongnya membuat perjanjian dengan penyihir hitam yang telah disegel di bawah tanah, Raja Under Stone. Setahun kemudian lahirlah Putri Rose, disusul 11 putri lainnya di tahun-tahun berikutnya. Tak satupun lahir pewaris laki-laki. Untuk semua itu, sang ratu ‘hanya’ diharuskan berdansa setiap malam purnama di kerajaan Under Stone selama 4 tahun.
Sebagaimana larangan orang tua ‘jangan sekali-kali pergi ke dukun, tar keterusan’ (hehe), Ratu Maude membuat perjanjian baru dengan Raja Under Stone demi mengakhiri perang yang berkepanjangan antara Westfalin dengan Analousia. Perjanjian baru itu menambah masa wajib dansa menjadi 20 tahun. Akan tetapi ratu meninggal sebelum melunasi hutang dansanya. Alhasil kedua belas putrilah yang kemudian harus berdansa menggantikan sang ibunda. Aktivitas dansa para putri setiap tengah malam membuat sepatu mereka selalu aus di pagi harinya. Hal itu dengan cepat menjadi gosip di tengah kesulitan ekonomi pasca perang, bahwa putri-putri raja adalah gadis manja yang gemar foya-foya dan dugem alias keluar malam. Tapi anehnya tak seorang pun yang tahu ke mana dan bagaimana para putri bisa keluar istana meski kamar mereka dikunci. Para putri pun seolah bungkam ketika ditanya oleh sang ayah. Demi mengakhiri petualangan para putri dan menghindari kemarahan rakyat, maka raja pun membuat sayembara bagi para pangeran negeri tetangga untuk memecahkan misteri sepatu aus para putri dengan imbalan menikahi seorang putri dan menjadi pewaris tahta. Naah, akankah misteri dapat terpecahkan?
Meskipun novel ini adalah remake dari dongeng klasik, ini adalah versi lebih baik dan lebih masuk akal daripada cerita aslinya. Di sini para putri dikutuk ‘harus’ berdansa, kalau di cerita aslinya (baca di wikipedia) para putrinya memang suka menyelinap pergi dansa tengah malam. Alur ceritanya cukup menegangkan, namun juga lucu, ada beberapa dialog yang bisa membuat saya tertawa sendiri. Nama para putrinya bagus, diambil dari nama-nama bunga yaitu Rose, Lily, Jonquil, Lilac, Poppy, Daisy, Hyacinth, Iris, Violet, Orchid, Pansy dan Petunia. Entah apakah versi aslinya juga seperti itu atau karangan si penulis? Yang jelas saya cukup menikmati Twelve Dancing Princesses versi Jessica Day George ini.