16 Agu 2011

Mengirim Kartu Lebaran

Hanif belajar mengirim kartu lebaran di sekolah. Kartunya dibuatkan ibu guru, nantinya anak-anak tinggal menempelkan perangko dan mengeposkannya ke Pak Pos yang datang ke sekolah. Kartunya dialamatkan ke mbah di Maos.

Mengantri dengan tertib untuk membeli perangko. Hanif ngga sabaran...jadinya nomor satu beli perangkonya.

Dibantu ibu guru menempel perangko....


Usai memasukkan surat ke kotak pos...

Update 7 September 2011: kartunya baru nyampe, soalnya alamatnya kurang jelas hehe...*salahkan emaknya Hanif!!

13 Agu 2011

Autism is Treatable

Saya pertama kali melihat spanduk tentang buku karangan Kak Kresno ini bukan di toko buku atau pameran buku, tapi malah di stand media pameran kreasi anak bangsa yang digelar Kementerian Perdagangan berbarengan dengan Pesta Buku Jakarta bulan lalu. Saya langsung tertarik dan berpikir ‘ini buku terbitnya kapan? Koq sama sekali ngga ngelihat di pameran buku?’. Saya coba cari di ECC Bintaro pun tidak ada. Saking kepinginnya, akhirnya saya beli buku ini secara online.
Buku yang diterbitkan Elex Media ini ditujukan untuk orang-orang yang peduli terhadap autisme, khususnya para orang tua yang dianugerahi anak-anak spesial. Isi buku secara garis besar adalah step-step bagaimana meyakinkan orang tua bahwa autisme bukanlah akhir dunia dan ‘autisme dapat diterapi’. Hal ini menjadi penting karena orang tua adalah kunci utama keberhasilan terapi pada anak autis. Sering kali yang terjadi adalah orang tua terlambat mengenali gejala, bersikap defensif terhadap diagnosis psikiater dan merasa terbebani dengan keberadaan si anak spesial. Penjabarannya terbagi atas 17 bab, yang dianjurkan untuk dibaca 1 bab per hari agar dapat lebih dihayati dan direnungi sehingga diharapkan dalam 17 hari (atau 3 minggu) orang tua dapat bersikap lebih positif dalam menangani buah hatinya. Makanya di cover buku ini tertulis ‘3 pekan menuju keberhasilan terapi’.
Bab-bab awal buku ini menjelaskan tentang pentingnya deteksi dini dan menegaskan bahwa spektrum autis sangatlah ‘luas’. Autis tidaklah selalu identik dengan antisosial dan obsesi berlebihan terhadap sesuatu. Anak-anak dengan spektrum autis ringan, gejalanya sangatlah samar dan bisa jadi penanganan menjadi terlambat jika orang tua tidak aware. Kecurigaan orang-orang sekitar akan buah hati kita hendaknya dipandang positif sebagai ‘early warning’ yang harus segera ditindaklanjuti. Bab-bab selanjutnya adalah bagaimana membangun mental dan semangat orang tua. Saya suka pembalikan paradigma yang diuraikan Kak Kresno. Tidak sembarang orang bisa jadi menteri karena tidak semua orang bisa melakukan tugas seorang menteri. Ketika terpilih jadi menteri, pasti dong bangga. Lalu kenapa kita tidak bangga punya anak autis? Allah tak memilih semua orang jadi orang tua anak autis karena tidak semua orang bisa. Allah menobatkan para orang tua terpilih karena mereka mampu. Selama ini stigma yang ada di masyarakat adalah kalau ada apa-apa dengan anak, orang tuanya yang salah. Jadi seringkali autisme dipandang sebagai hukuman. Buku ini mengajak kita melihat autisme sebagai tantangan yang insya Allah bisa ditaklukan karena Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hambaNya. Dengan bahasa yang mudah dicerna, buku ini memberikan suntikan semangat dan energi positif pada diri saya. Bahkan saya menjadi berani bermimpi lebih tinggi untuk Hanif. Jadi para orang tua, pendidik dan siapa saja yang peduli autisme, bacalah buku ini dan mari percaya bahwa ‘Autism is Treatable’. Coba buku ini ada dari dulu-dulu yaa...

12 Agu 2011

9,10,11

Adalah suatu kebetulan jika buku fiksi yang saya baca bulan ini membentuk urutan angka. 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setyawan dan 11 Patriot-nya Andrea Hirata. Tanpa disengaja membacanya pun berurutan hehe... P
Buku yang pertama sa ya dapatkan dari seorang teman sebagai hadiah ultah. Yang bersangkutan tahu benar bahwa tak ada hadiah lain yang paling saya suka selain buku, sampai-sampai dengan lihainya bertanya pada saya ‘apa saya pernah baca 9 Summers 10 Autumns’. Ketika saya jawab ‘belum, emang kenapa?’, alasannya ‘kata temen bagus, penasaran pengen baca’ dan saya ngga ke-geer-an sama sekali kalau mau dikasih kado hehe... 9S10A, kita singkat saja demikian (kayak nama boyband korea ya), adalah novel pertama dari Iwan Setyawan. Ceritanya tentang seorang anak sopir angkot di Malang yang akhirnya bisa melanglang buana sukses menjadi Manajer di New York City. Iwan, dengan gaya flash back, diceritakan berkisah pada orang ketiga tentang hidupnya dari masa kecil hingga tiba di NYC. Karena itu judulnya 9S10A, selama itulah Iwan tinggal di New York dan ‘curhat’ kepada seorang anak kecil berseragam merah putih. Menurut saya, anak kecil ini mungkin representasi dari jiwa kanak-kanak Iwan yang selalu merindukan rumah. Awalnya saya mengira akan mendapatkan kisah dramatis pencapaian sukses seorang anak kampung sebagaimana Negeri 5 Menara dan Laskar Pelangi. Ternyata yang lebih menonjol di buku ini adalah ‘kehangatan keluarga’. Meski keluarganya bukan keluarga yang ‘sempurna’, kasih sayang dan pengorbanan satu sama lain-lah yang menjadikan setiap anak di keluarga Iwan meraih suksesnya masing-masing. Kehangatan itu juga membuat Iwan akhirnya memutuskan cukup selama sembilan musim panas dan sepuluh musim gugur saja, ia berada di benua yang berbeda dengan keluarganya.

Buku berikutnya saya beli di Pekan Buku Jakarta yang lalu. Satu-satunya buku yang saya beli hehe... Pengiritan. Novel ketujuh Andrea ini tipis sekali jika dibandingkan novelnya yang lain. Makanya saya bilang ini appetizer sebelum main course novel Andrea yang kedelapan ‘Ayah’. Novel ini berkisah tentang kecintaan Ikal terhadap sepak bola yang disebabkan oleh masa lalu sang ayah. Sayangnya ambisi Ikal menjadi pemain timnas terpaksa kandas, barulah kemudian ia beralih ke bulutangkis sebagaimana dikisahkan di novel sebelumnya. Gagal mewujudkan mimpi sang ayah membuat Ikal berjuang mendapatkan kaos ‘Figo’ –pemain favorit ayahnya- saat petualangan backpacker keliling Eropa bersama Arai. Kocak dan lucu sekaligus mengharukan –khas Andrea Hirata. Oh iya, novel ini ada CD lagunya loh. Ciptaan Andrea sendiri, hebat eui. Saya salut dengan Andrea. Saya selalu berpikir bahwa penulis fiksi yang didasarkan dari kisah hidupnya sendiri akan jadi ‘mandeg’ ketika cerita telah sampai pada titik di mana ia hidup saat ini. Tapi Andrea tidak, malah ia berhasil memunculkan banyak tokoh dari kisah hidupnya tanpa terlalu menonjolkan Ikal sendiri. Ngga berkesan pamer gitu hehe... Bahkan ia tidak sungkan-sungkan membuat Ikal terlihat konyol seperti di novel dwiloginya yang lalu –sampai2 saya jengkel bacanya-. Yah...walau berawal dari zero to hero, hero tak selamanya jadi hero terus kan? Hehe...ngga nyambung. Garis merah dari bacaan saya kali ini adalah ‘the power of family’ –halah:p. Jadi pengen pulaaang...

The Joy of July

Bulan Juli lalu adalah bulan yang membahagiakan. Haha...karena si ayah pulang liburan selama 1 bulan. Ya...kami berdua memang ditinggal di Indonesia, sementara si ayah berjuang menyelesaikan S2nya di Australia. Sebenarnya awalnya kami berencana untuk menyusul di tahun 2011 ini, tapi ternyata Allah berkehendak lain. Hanif adalah prioritas kami sekarang. Demi keberlanjutan terapinya, akhirnya saya dan Hanif tetap tinggal di Indo. Toh tinggal setahun ini.

Kepulangan si ayah kali ini ternyata membuat Hanif senang, ibunya juga sih hehe... Ada beberapa perubahan yang nyata dibandingkan kepulangan ayahnya yang lalu-lalu. Jika sehari-harinya Hanif tidur dengan saya, ketika ada ayahnya ia hanya mau tidur dengan ayahnya. Bahkan saya masuk kamar untuk mengambil baju pun tidak boleh karena dikiranya saya mau tidur di kamar hehe... Saat saya harus pergi sendiri tanpa si ayah, Hanif kebingungan dan nangis harus ikut ibu atau tinggal di rumah dengan ayah. Padahal sebelumnya kemana pun saya pergi, Hanif pasti ngikut. Perkembangan terapinya pun membaik, ia lebih enjoy. Satu lagi perubahan yang kentara, Hanif tambah gemuk. Gimana engga, si ayah camilannya banyak hehe... Alhamdulillah, ternyata meski ditinggal lama bonding ayah dan anak tetep ada. Padahal kalau lagi ‘nonton ayah’ –istilah Hanif untuk komunikasi via Skype dengan si ayah-, ia harus ditarik-tarik untuk sekedar bilang ‘hallo ayah’. Setelahnya langsung ngacir. Untungnya liburan kali ini timingnya juga pas dengan awal masuk sekolah. Setidaknya saya tidak sendirian menjalani orientasi sekolah dan wawancara dengan pihak sekolah Hanif. Kami juga tidak pergi ke mana-mana selama sebulan itu. Selain sibuk dengan persiapan sekolah Hanif –orientasi, wawancara, sosialisasi kegiatan-, kami cuma sempat ke pesta buku jakarta dan mengunjungi pameran kreasi anak bangsa di JCC.

Bulan Juli yang menyenangkan. Semoga Agustus sampai Desember ini berlalu dengan cepat dan si ayah juga lancar menyelesaikan kuliahnya, jadi cepet pulang. Moga-moga juga bisa penempatan Jakarta. Haha...berharap boleh kan?. Amiin..

11 Agu 2011

Hanif Goes to School

Di usianya yang menginjak 3,5 tahun, kami memutuskan untuk mencoba memasukkan Hanif ke playgroup. Setelah mencari-cari, akhirnya pilihan kami jatuh pada Playgroup Baitul Maal, sebuah sekolah islam berjarak sekitar 300 m dari kontrakan. Sebenarnya ada juga TK yang lebih dekat dengan rumah, cuma 50 m. Tetapi lokasinya yang di pinggir jalan dan kebiasaan Hanif yang pintar menyelinap alias kabur membuat saya sedikit waswas memilihnya.
Pengalaman pertama masuk sekolah biasanya membuat anak-anak tegang. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk Hanif, malahan saya yang tegang. Hanif sebaliknya terlihat excited dengan tempat baru yang banyak mainannya. Kalau anak lain menangis karena takut ditinggal, Hanif justru menangis ketika harus masuk kelas atau diminta mengikuti kegiatan. Dua minggu pertama yang melelahkan bagi saya dan Hanif. Lelah karena saya ‘agak’ memaksa Hanif mengikuti kegiatan, entah dengan digendong, dipangku, dipegangi. Saya yakin bahwa Hanif harus dibiasakan. Hanif sendiri pun tak kalah lelah, terus-terusan menangis dan bergerak ke sana kemari bahkan seringkali langsung tertidur setibanya di rumah. Saya sempat berpikir ‘Haduh...kalau begini tiap sekolah remuk redam badan saya’. Ketika saya ‘curhat’ pada seorang ibu teman terapi Hanif, ia menyarankan saya untuk menyerahkan Hanif sepenuhnya pada gurunya. Katanya ‘Yakin aja bu, insya Allah lambat laun Hanif pasti akan mengerti’. Hhh...iya juga. Melihat anak-anak begitu normal mungkin membuat saya sedikit minder dan kehilangan keyakinan pada Hanif sehingga saya menjadi pemaksa pada anak sendiri. Setelah diskusi dengan ayahnya dan juga wali kelas, saya meminta pihak sekolah mencarikan ‘shadow teacher’ untuk Hanif. Idealnya sih terapis yang jadi shadow teacher, tapi...ngga kuwat bayarnya. Ahamdulillah, di minggu ketiga Hanif mulai didampingi shadow teachernya. Namanya Bu Rahma, kebetulan namanya sama kayak saya. Masih mahasiswa jurusan PAUD, hitung-hitung PKL haha... Akhirnya, sejak minggu ketiga saya menunggu di luar pagar.
Menunggu di luar memberi kesempatan untuk kenal dengan ibu-ibu yang lain. Sekalian mensosialisasikan bahwa Hanif itu autis. Yah...ini salah satu bukti saya bangga dengan Hanif, ngga perlu malu. Rata-rata berkomentar ‘masa sih, ngga kelihatan koq, perasaan anaknya biasa aja deh’. Memang seringkali orang berpikir kalau autis itu identik dengan penyendiri dan antisosial. Padahal spektrumnya sangat luas, mulai dari yang ringan sampai berat. Banyak berbagi mendorong saya semakin giat menggali dan membaca. Menyalurkan hobi ngomong juga hehe...biasanya ngoceh di depan kelas, sekarang sama ibu-ibu.
Kini Hanif sudah sebulan lebih sekolah. Alhamdulillah, ia sudah mau mengikuti kegiatan meski durasinya belum lama. Ada hari-hari rewel, ada hari-hari patuh, yah...biasalah anak-anak. Saya berusaha enjoy menjalaninya dan terus memupuk keyakinan bahwa Hanif pasti bisa. Bahwa Allah sesuai persangkaan hambaNya. Amiin...

6 Agu 2011

Tarhib Ramadhan

Dalam rangka menyambut Ramadhan, sekolah Hanif mengadakan pawai. Bawa bendera dan pakai hiasan kepala, tapi Hanif cuma mau bawa bendera aja. Acaranya silaturahim ke Pak RT dekat sekolah sambil bagi-bagi bendera sepanjang perjalanan.

Hanif dengan benderanya....sebelum berangkat pawai.

Anak-anak baris di depan rumah Pak RT, menyaksikan pemberian bingkisan. Tapi Hanif mana ya?

Aih...sempet-sempetnya dia main perosotan di sebelah rumah Pak RT.