4 Des 2012

Resensi: 99 Cahaya di Langit Eropa


Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, GPU, 2011

Buku ini ditulis oleh putri Amien Rais dan suaminya tentang perjalanan mereka mengunjungi berbagai tempat bersejarah di Eropa. Tak sekedar mengunjungi tempat-tempat yang tersohor, mereka berdua sengaja memilih kota-kota di mana banyak peninggalan Islam dari Abad Pertengahan. Dimulai dari Wina, Austria di mana Rangga, suami Hanum, mendapatkan beasiswa doktoralnya. Ternyata Wina adalah kota terakhir di mana ekspansi Islam terhenti. Di kota itulah pasukan Kara Mustafa Pasha dari Turki dipukul mundur oleh tentara Jerman dan Polandia. Perjalanan dilanjutkan ke Paris, Perancis ketika Rangga berkesempatan mengikuti seminar di sana. Hanum bersama dengan Marion –seorang peneliti muslimah- menghabiskan waktu di Islamic Art Gallery, Museum Louvre. Di sana Hanum menemukan fakta-fakta menarik tentang Islam, bahwa Islam sempat begitu trending di abad pertengahan sampai-sampai lukisan Maria (The Virgin and Child) digambarkan memakai kerudung bermotifkan tulisan lafaz La Ilaha Illallah. Juga fakta tentang kemungkinan Napoleon adalah seorang muslim!!! Destinasi selanjutnya adalah Cordoba dan Granada, yang merupakan pusat kejayaan Islam di Andalusia. Di sana mereka mengunjungi Katredal Mezquita Cordoba, yang dahulunya adalah masjid, bahkan di balik mimbarnya yang berjeruji besi masih utuh tulisan lafaz Allah dan Muhammad. Kemudian ke Istana Al Hambra Granada, menyaksikan benteng terakhir pertahanan Islam di Andalusia sebelum akhirnya jatuh di tangan Isabella dan Ferdinand. Di kesempatan selanjutnya, mereka pergi ke Istambul Turki sekalian mengunjung seorang sahabat. Melihat langsung Hagia Sophia, yang awalnya gereja jadi masjid kemudian dijadikan museum ketika sekulerisme melanda Turki di masa Kemal Attaturk dan mengunjungi Istana Topkapi, di mana gereja dibiarkan tetap berdiri di dalam komplek istana tersebut. Perjalanan pun kemudian berakhir dengan Hanum mengunjungi Allah ke Baitullah, tempat segalanya bermula...

Buku ini memang bukan buku travelling, lebih ke bentuk catatan perjalanan. Tak ada tips-tips travelling, tetapi sarat perenungan dan pandangan penulis terhadap apa-apa yang dilihatnya juga interaksinya dengan orang-orang di sekitar. Hanum beruntung, ia dipertemukan dengan orang-orang luar biasa yang memahami sejarah tempat yang dikunjunginya. Tanpa itu, bisa jadi perjalanannya hanya akan memuaskan mata tapi tidak untuk jiwa. Meski saya sampai detik ini masih belum paham kenapa judulnya 99 Cahaya di Langit Eropa, dari asmaul husnakah atau apa?, tapi buku ini membuat saya semakin bangga akan Islam dan ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Islam. Mengetahui sejarah kejayaan masa lampau bukan untuk membuai angan-angan, tapi bagaimana umat Islam belajar dari kesalahan yang pernah terjadi dan bangkit memperbaikinya. Kejayaan umat Islam di masa lampau tak lain karena ilmu yang berjalan seiring dengan agama. Perintah yang paling pertama turun pada Muhammad adalah ‘Iqra’, bahkan sebelum sholat dan puasa. Ilmulah yang menjadikan Islam bersinar, maka ketika umat muslim jauh dari ilmu dan mulai mengedepankan nasfu, kekuasaan, hedonisme, jatuhlah kejayaan Islam. Saya sedikit bersyukur Hanum menjatuhkan harddisk fotonya, yang membuatnya menulis buku ini dan membaginya dengan jutaan umat muslim lain sehingga akan semakin banyak umat muslim yang menyadari, yakin, dan terus berdoa serta berusaha agar suatu hari nanti cahaya Islam akan kembali bersinar di bumi ini. Amiiin...