Di usianya yang menginjak 3,5 tahun, kami memutuskan untuk mencoba memasukkan Hanif ke playgroup. Setelah mencari-cari, akhirnya pilihan kami jatuh pada Playgroup Baitul Maal, sebuah sekolah islam berjarak sekitar 300 m dari kontrakan. Sebenarnya ada juga TK yang lebih dekat dengan rumah, cuma 50 m. Tetapi lokasinya yang di pinggir jalan dan kebiasaan Hanif yang pintar menyelinap alias kabur membuat saya sedikit waswas memilihnya.
Pengalaman pertama masuk sekolah biasanya membuat anak-anak tegang. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk Hanif, malahan saya yang tegang. Hanif sebaliknya terlihat excited dengan tempat baru yang banyak mainannya. Kalau anak lain menangis karena takut ditinggal, Hanif justru menangis ketika harus masuk kelas atau diminta mengikuti kegiatan. Dua minggu pertama yang melelahkan bagi saya dan Hanif. Lelah karena saya ‘agak’ memaksa Hanif mengikuti kegiatan, entah dengan digendong, dipangku, dipegangi. Saya yakin bahwa Hanif harus dibiasakan. Hanif sendiri pun tak kalah lelah, terus-terusan menangis dan bergerak ke sana kemari bahkan seringkali langsung tertidur setibanya di rumah. Saya sempat berpikir ‘Haduh...kalau begini tiap sekolah remuk redam badan saya’. Ketika saya ‘curhat’ pada seorang ibu teman terapi Hanif, ia menyarankan saya untuk menyerahkan Hanif sepenuhnya pada gurunya. Katanya ‘Yakin aja bu, insya Allah lambat laun Hanif pasti akan mengerti’. Hhh...iya juga. Melihat anak-anak begitu normal mungkin membuat saya sedikit minder dan kehilangan keyakinan pada Hanif sehingga saya menjadi pemaksa pada anak sendiri. Setelah diskusi dengan ayahnya dan juga wali kelas, saya meminta pihak sekolah mencarikan ‘shadow teacher’ untuk Hanif. Idealnya sih terapis yang jadi shadow teacher, tapi...ngga kuwat bayarnya. Ahamdulillah, di minggu ketiga Hanif mulai didampingi shadow teachernya. Namanya Bu Rahma, kebetulan namanya sama kayak saya. Masih mahasiswa jurusan PAUD, hitung-hitung PKL haha... Akhirnya, sejak minggu ketiga saya menunggu di luar pagar.
Menunggu di luar memberi kesempatan untuk kenal dengan ibu-ibu yang lain. Sekalian mensosialisasikan bahwa Hanif itu autis. Yah...ini salah satu bukti saya bangga dengan Hanif, ngga perlu malu. Rata-rata berkomentar ‘masa sih, ngga kelihatan koq, perasaan anaknya biasa aja deh’. Memang seringkali orang berpikir kalau autis itu identik dengan penyendiri dan antisosial. Padahal spektrumnya sangat luas, mulai dari yang ringan sampai berat. Banyak berbagi mendorong saya semakin giat menggali dan membaca. Menyalurkan hobi ngomong juga hehe...biasanya ngoceh di depan kelas, sekarang sama ibu-ibu.
Kini Hanif sudah sebulan lebih sekolah. Alhamdulillah, ia sudah mau mengikuti kegiatan meski durasinya belum lama. Ada hari-hari rewel, ada hari-hari patuh, yah...biasalah anak-anak. Saya berusaha enjoy menjalaninya dan terus memupuk keyakinan bahwa Hanif pasti bisa. Bahwa Allah sesuai persangkaan hambaNya. Amiin...
Pengalaman pertama masuk sekolah biasanya membuat anak-anak tegang. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk Hanif, malahan saya yang tegang. Hanif sebaliknya terlihat excited dengan tempat baru yang banyak mainannya. Kalau anak lain menangis karena takut ditinggal, Hanif justru menangis ketika harus masuk kelas atau diminta mengikuti kegiatan. Dua minggu pertama yang melelahkan bagi saya dan Hanif. Lelah karena saya ‘agak’ memaksa Hanif mengikuti kegiatan, entah dengan digendong, dipangku, dipegangi. Saya yakin bahwa Hanif harus dibiasakan. Hanif sendiri pun tak kalah lelah, terus-terusan menangis dan bergerak ke sana kemari bahkan seringkali langsung tertidur setibanya di rumah. Saya sempat berpikir ‘Haduh...kalau begini tiap sekolah remuk redam badan saya’. Ketika saya ‘curhat’ pada seorang ibu teman terapi Hanif, ia menyarankan saya untuk menyerahkan Hanif sepenuhnya pada gurunya. Katanya ‘Yakin aja bu, insya Allah lambat laun Hanif pasti akan mengerti’. Hhh...iya juga. Melihat anak-anak begitu normal mungkin membuat saya sedikit minder dan kehilangan keyakinan pada Hanif sehingga saya menjadi pemaksa pada anak sendiri. Setelah diskusi dengan ayahnya dan juga wali kelas, saya meminta pihak sekolah mencarikan ‘shadow teacher’ untuk Hanif. Idealnya sih terapis yang jadi shadow teacher, tapi...ngga kuwat bayarnya. Ahamdulillah, di minggu ketiga Hanif mulai didampingi shadow teachernya. Namanya Bu Rahma, kebetulan namanya sama kayak saya. Masih mahasiswa jurusan PAUD, hitung-hitung PKL haha... Akhirnya, sejak minggu ketiga saya menunggu di luar pagar.
Menunggu di luar memberi kesempatan untuk kenal dengan ibu-ibu yang lain. Sekalian mensosialisasikan bahwa Hanif itu autis. Yah...ini salah satu bukti saya bangga dengan Hanif, ngga perlu malu. Rata-rata berkomentar ‘masa sih, ngga kelihatan koq, perasaan anaknya biasa aja deh’. Memang seringkali orang berpikir kalau autis itu identik dengan penyendiri dan antisosial. Padahal spektrumnya sangat luas, mulai dari yang ringan sampai berat. Banyak berbagi mendorong saya semakin giat menggali dan membaca. Menyalurkan hobi ngomong juga hehe...biasanya ngoceh di depan kelas, sekarang sama ibu-ibu.
Kini Hanif sudah sebulan lebih sekolah. Alhamdulillah, ia sudah mau mengikuti kegiatan meski durasinya belum lama. Ada hari-hari rewel, ada hari-hari patuh, yah...biasalah anak-anak. Saya berusaha enjoy menjalaninya dan terus memupuk keyakinan bahwa Hanif pasti bisa. Bahwa Allah sesuai persangkaan hambaNya. Amiin...