7 Okt 2012

[Resensi Buku] Living with Dislexia




Penerbit: Qanita
Penulis: Lissa Weinstein, Ph.D.
Halaman: 352 halaman
“Bagiku huruf-huruf itu sama sekali tidak masuk akal. Mengenali huruf itu saja aku tidak bisa. Semuanya hanya kelihatan seperti garis-garis lekuk yang tak ada artinya.” –David, 7 tahun.
David terlahir sebagai bayi yang sempurna. Dia lucu dan menggemaskan. Saat usianya beranjak balita, David mulai menunjukkan minatnya pada sains dan fakta. Ia selalu mempertanyakan banyak hal meski kadang ucapan David yang tak begitu jelas membuat orang lain berkata “Apa? Apa?”. Tapi Lissa, sang ibu, selalu mengerti ucapan David dan baginya David anak yang cerdas. Hingga suatu ketika di malam kunjungan sekolah TK David, seorang gurunya menyimpulkan David agak tertinggal dalam keterampilan wicara. Pihak sekolah menyarankan agar David diterapi wicara. Dari berbagai tes yang dilakukan, terkuaklah permasalahan sebenarnya bahwa David menyandang dislexia, nilai tes IQnya rata-rata bawah dan dia didiagnosa tak akan bisa membaca. Lissa yang juga seorang psikolog sangat terpukul. Ia melakukan segala cara untuk membantu putranya selagi batinnya terus bergulat berusaha menerima keadaan Davis. Mencarikan tempat terapi terbaik, dokter terbaik, tutor terbaik, bahkan bergadang tiap malam demi membantu David menyelesaikan PRnya. Di sisi lain, dislexia juga mempengaruhi David. Ia sadar dirinya berbeda sehingga membuatnya frustasi, merasa bodoh dan tidak percaya diri di antara teman-temannya.

Membaca buku ini menambah wawasan saya tentang dislexia. Dari beberapa film dan buku fiksi yang pernah saya baca, saya pikir dislexia ‘hanya’ kesulitan membaca. Ternyata dislexia mencakup ketidakmampuan otak untuk mengasosiasikan simbol dengan bunyi, misalnya A adalah simbol dari bunyi A dan diri saya adalah simbol bagi nama “Rachma”. Padahal ada begitu banyak simbol dalam kehidupan kita. Dislexia yang dialami David tak hanya membuatnya sulit menghafal abjad, angka tapi juga nama orang, jenis pecahan mata uang, bahkan nama makanan yang diinginkannya. Selain itu, buku ini membuat saya berkaca pada pergulatan batin Lissa. Ya...apa yang dirasakan Lissa pasti dirasakan pula oleh para ibu anak-anak berkebutuhan khusus. Rasa cemburu setiap kali melihat anak lain yang ‘normal’, rasa malu ketika harus bergantung  pada ‘belas kasihan’ para pakar (ini karena Lissa juga seorang psikolog), rasa bersalah karena telah melahirkannya tak sesempurna anak lain, rasa cemas ketika memikirkan masa depannya, rasa marah ketika perkembangannya tak kunjung sesuai harapan kita, dan berjuta perasaan lainnya yang sesungguhnya sangat manusiawi dalam proses penerimaan. Tapi mengakui bahkan menuliskannya adalah sesuatu yang hebat. Salut untuk Lissa. Pada setiap bab juga disertai berbagai gambar dan tulisan David tentang bagaimana perasaannya terhadap sekolah, teman-teman, tutor juga ibunya. Saya jadi memahami tak hanya orang tua saja yang merasa sedih dan frustasi, sang anak pun ikut terluka batinnya.
Kekurangan buku ini adalah penggunaan berbagai istilah psikologi yang cukup sulit yang sering membuat saya mengulangi membaca paragraf yang tak saya mengerti. Tapi hal tersebut dapat dipahami karena penulisnya adalah kalangan akademisi yang bergerak di bidang yang linier dengan dislexia. Mungkin terbawa kebiasaan menulis jurnal ilmiah kali. Ada satu hal yang membuat saya tersentuh di buku ini adalah bagaimana Daniel, adik David, sengaja membaca tengah malam di kamarnya agar sang kakak –yang belum bisa membaca- tidak merasa minder. So sweet. Yah, Daniel adalah adik yang sangat baik. Sebagaimana yang dinyatakan Lissa dalam buku ini bahwa buku ini bukan buku tentang “how to” tapi lebih kepada “who is”, metode yang diterapkan terhadap David mungkin tak sama dengan penyandang dislexia lain tapi perjuangan yang dilakukan Lissa dan David memberikan keyakinan bahwa dislexia bukanlah akhir dari dunia.