16 Okt 2012

Resensi Buku: Ghost Girl




Pengarang: Tonya Hurley
Penerbit: Atria
Halaman: 402 halaman

Buku ini berkisah tentang Charlotte, yang selalu berusaha keras untuk ‘terlihat’. Ia menghabiskan masa liburannya dengan ‘perombakan diri dosis tinggi’ agar bisa menjadi one of the popular girl. Sayangnya di hari pertama sekolah, ketika akhirnya guru fisika memasangkan dirinya dengan Damen –cowok yang ditaksirnya- dalam satu tim, Charlotte malah meninggal karena tersedak permen gummy bear. Arwahnya kemudian bergabung dengan sekelompok arwah anak lain yang juga sedang menunggu untuk menyelesaikan ‘urusan yang belum selesai’. Charlotte berpikir Damenlah urusannya yang belum selesai, bahwa ia belum sempat pergi ke Pesta Dansa Musim Gugur bersamanya, belum pernah dicium olehnya. Oleh karena itu, ketika Scarlet, adik Petula –cewek terpopuler di sekolah-, ternyata bisa melihat arwahnya, Charlotte merasa inilah kesempatan untuknya. Mereka bertukar arwah. Charlotte berperan sebagai Scarlet dan mendekati Damen, sementara Scarlet bersenang-senang dengan pengalaman mati suri. Tapi yang menjadi masalah, Scarlet juga jadi menyukai Damen saat ia tidak sedang dirasuki Charlotte? Padahal Damen masih jadi pacar Petula kakaknya sendiri.  Di lain pihak, Charlotte harus menghadapi Prue, teman sesama arwah yang paling garang. Prue merasa Charlotte selalu main-main dan akan menghambat perpindahan mereka semua ke dunia lain. Ia selalu berusaha mengacaukan rencana ‘senang-senang’ Charlotte. Nah, apakah akhirnya Charlotte bisa menyelesaikan urusannya? Benarkah Damenlah urusannya yang belum selesai?

Sepertinya popularitas selalu jadi tema yang tak pernah ada habisnya di kalangan remaja. Saya sering membaca novel remaja dengan tema serupa. Tapi saya tidak terlalu menikmati yang satu ini. Hampir-hampir saya berhenti membacanya di bagian awal karena membosankan. Untung setelah Charlotte dan Scarlet sering bertukar tempat, cerita menjadi sedikit lebih seru. Menurut saya, menyedihkan sekali seorang remaja yang begitu berusaha untuk ‘fit-in’, eh...malah meninggal dengan cara seperti itu. Apalagi Charlotte sebenarnya punya banyak kelebihan, ia pintar Fisika, pandai membuat kue dan juga bisa beraksi ala cheers. Tapi karena ia terlalu membenci dirinya sendiri, maka ia menjadi ‘bukan siapa-siapa’. Jika ia saja tak bisa menyukai dirinya sendiri, apalagi orang lain. That’s the point from this book.