16 Okt 2012

Resensi: Ayahku (Bukan) Pembohong

 
Pengarang: Tere-Liye
Penerbit: Gramedia
Halaman: 299 halaman

Dam dibesarkan bersama cerita-cerita sang ayah. Dari semua cerita ayahnya, yang paling seru bagi Dam adalah kisah petualangan ayah sewaktu masih muda dan merantau ke luar negeri. Bayangkan ayah yang pegawai biasa pernah kenal dengan Sang Kapten -pemain sepak bola terkenal Eropa idola Dam- saat Sang Kapten kecil masih jadi pengantar sup jamur. Bukankah itu jauh lebih hebat daripada Jarjit –musuhnya di sekolah- yang begitu sombong hanya karena bisa mendapat bola bertanda tangan Sang Kapten?  Tak hanya itu, ayahnya juga pernah bertemu dengan Suku Penguasa Angin dan berkunjung ke Lembah Bukhara, tempat terindah di dunia yang tersembunyi. Tapi ia tahu ayah selalu mengajarinya untuk rendah hati, tak boleh sombong. Dam pun menahan diri untuk tidak menyombongkan kisah petualangan ayahnya. Hingga suatu ketika Sang Kapten berkesempatan datang ke kotanya untuk bertanding, tentu saja Dam menonton bersama ayah dan ibu. Entah kenapa saat Dam hampir saja bersalaman dengan Sang Kapten dan ingin menanyakan masih ingatkah ia dengan ayahnya, ayah tiba-tiba saja mengajaknya pulang karena ibu tidak sehat. Sejak itu berbagai peristiwa terjadi dan Dam mulai mempertanyakan kebenaran kisah masa muda ayahnya.  Tapi ia tak punya cukup keberanian bertanya langsung, Dam takut ayah akan tersinggung. Hingga tiga puluh tahun berselang, ayahnya pun mengulang bercerita kisah yang sama pada cucu-cucunya, anak Dam. Akankah Dam membiarkan anak-anaknya juga tertipu oleh kisah sang kakek? Meski dalam hatinya, ia masih terus bertanya-tanya benarkah ayahnya seorang pembohong?

Membaca buku ini mengingatkan saya pada ayah saya sendiri. Dulu beliau juga sering mendongeng untuk saya sebelum tidur, tanpa membaca buku lho. Yang masih saya ingat tentang asal-usul Banyuwangi, Tangkuban Perahu, Surabaya, yaa...seringnya cerita rakyat. Manfaatnya anak bisa belajar budi pekerti dengan menyenangkan dan tanpa sadar. Seperti halnya Dam. Ia tumbuh menjadi anak yang baik salah satunya berkat cerita ayahnya. Tapi sayang ayah Dam adalah tipe ayah jaman dulu, yang tak membiarkan dirinya dipertanyakan. Untungnya Dam diam saja dan memendamnya, kalau sama anak jaman sekarang bisa dicecar habis-habisan. Jadi prasangka Dam terhadap ayahnya juga karena kesalahan ayahnya sendiri, menurut saya. Prasangka itu juga yang kemudian menutup mata hati Dam akan kebenaran lain tentang ibunya. Terlepas dari kisah si ayah itu benar adanya, memang kisahnya agak sulit dipercaya. Selain itu, banyak misteri yang masih belum terkuak, tentang keberadaan Suku Penguasa Angin dan Lembah Bukhara, kenapa buku tentang keduanya bisa ada di perpustakaan Akademi Gajah, keberadaan Akademi Gajah yang tak terdeteksi mbah Google. Masa iya padahal surat sakti dari akademi tersebut bisa menembus perguruan tinggi bergengsi mana pun, tanpa tes! Mungkin novel ini harus dibaca tanpa banyak berpikir, just read and get the points. Nah, hikmah dari novel ini jangan pernah berbohong sama anak dan selalu puaskan rasa ingin tahu mereka. Hikmah yang satu lagi dari kisah “Kolam Para Sufi” –one of my favourite- bahwa kebahagiaan yang hakiki bukan berasal dari luar diri kita, tapi dari diri kita sendiri, dari hati yang bersih. Kita bisa memperolehnya dengan melatih hati kita dengan kehidupan yang bersahaja, sederhana, dan apa adanya sehingga hati akan menjadi lebih lapang, lebih dalam dan tak akan mudah keruh oleh pengaruh dari luar, sebagaimana kehidupan yang dipilih ayah dan ibu Dam.