11 Nov 2012

Resensi: Thanks for The Memories




Penulis: Cecilia Ahern
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Joyce mengalami beberapa keanehan sejak ia pulang dari rumah sakit-karena keguguran-. Tiba-tiba saja ia menjadi tahu banyak tentang sejarah benda-benda seni dan arsitektur bangunan. Bukan hanya itu, ia juga bertemu dengan seorang laki-laki asing –yang entah kenapa terasa familiar- di sebuah salon sepulang dari rumah sakit. Keanehan tersebut sempat terlupakan oleh perasaan pilunya akibat kehilangan bayi dan kegagalan rumah tangga. Rumah tangga yang ia harapkan akan menghangat kembali dengan hadirnya seorang bayi, ternyata memang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Joyce memutuskan menjual rumah dan tinggal bersama ayahnya yang sudah renta. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan ke kota bersama sang ayah, dia melihat laki-laki itu dan laki-laki itu juga melihatnya...

Justin sangat takut dengan jarum suntik. Sebagai pria dewasa, tentu saja ia malu mengakuinya. Saat mengajar sebagai dosen tamu di sebuah universitas, Sarah –si dokter cantik- berhasil membujuknya untuk mendonorkan darah. Justin meyakinkan dirinya bahwa seseorang yang mungkin terselamatkan jiwanya oleh darahnya suatu saat akan membalas budi padanya. Pikiran konyolnya sempat ditertawakan oleh Bea, putrinya. Akan tetapi keinginannya terkabulkan, penerima donor misterius itu benar-benar berterima kasih padanya dan mengiriminya ini-itu –persis seperti yang diharapkan Justin-.  Keanehan yang lain adalah seorang wanita yang berulang kali tak sengaja ditemuinya dan Justin merasa tak pernah kenal tapi terasa begitu akrab. Hidupnya benar-benar aneh....
 
Novel ini mengambil tema tentang donor di mana penerima donor merasakan hal-hal yang pernah dialami oleh pemberi donor. Tema yang hampir sama juga dipakai di film ‘Return to Me’-nya David Duchovny dan drama korea ‘Summer Scent’. Bedanya yang didonorkan di kedua cerita tersebut adalah organ jantung, sedangkan novel ini tentang ‘blood transfer’. Saya jadi bertanya-tanya apa iya donor darah bisa menimbulkan efek yang sama sebagaimana donor organ. Di sisi lain, Cecilia pandai meramu cerita dan menciptakan alur yang seru, meski dengan tema ini ending cerita hampir pasti bisa tertebak. Yah...bisa dibilang ala rom-com Hollywood, klise, mudah tertebak tapi tetep asyik ditonton. Persimpangan kedua tokoh utama berulang kali sampai akhirnya mereka baru bisa ‘bertemu’ di ending sedikit mengingatkan saya pada film lama ‘Sleepless in Seattle’. Satu tokoh yang membuat saya terkesan di novel ini adalah karakter ayah Joyce, tipikal orang tua yang kolot dan tidak pernah pergi jauh meninggalkan kampung halamannya. Lucu, kadang bikin sebal tapi suatu ketika si bapak tua (saya lupa namanya) membuat saya terharu dengan cintanya pada almarhumah ibu Joyce. Saya suka novel ini. Tak semengharu biru PS I Love You, but sweet...