Penulis: Cecilia Ahern
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Joyce mengalami beberapa keanehan sejak ia pulang dari rumah
sakit-karena keguguran-. Tiba-tiba saja ia menjadi tahu banyak tentang sejarah
benda-benda seni dan arsitektur bangunan. Bukan hanya itu, ia juga bertemu
dengan seorang laki-laki asing –yang entah kenapa terasa familiar- di sebuah
salon sepulang dari rumah sakit. Keanehan tersebut sempat terlupakan oleh
perasaan pilunya akibat kehilangan bayi dan kegagalan rumah tangga. Rumah
tangga yang ia harapkan akan menghangat kembali dengan hadirnya seorang bayi,
ternyata memang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Joyce memutuskan menjual
rumah dan tinggal bersama ayahnya yang sudah renta. Hingga suatu hari ketika
berjalan-jalan ke kota bersama sang ayah, dia melihat laki-laki itu dan laki-laki
itu juga melihatnya...
Justin sangat takut dengan jarum suntik. Sebagai pria
dewasa, tentu saja ia malu mengakuinya. Saat mengajar sebagai dosen tamu di
sebuah universitas, Sarah –si dokter cantik- berhasil membujuknya untuk
mendonorkan darah. Justin meyakinkan dirinya bahwa seseorang yang mungkin
terselamatkan jiwanya oleh darahnya suatu saat akan membalas budi padanya.
Pikiran konyolnya sempat ditertawakan oleh Bea, putrinya. Akan tetapi
keinginannya terkabulkan, penerima donor misterius itu benar-benar berterima
kasih padanya dan mengiriminya ini-itu –persis seperti yang diharapkan Justin-.
Keanehan yang lain adalah seorang wanita
yang berulang kali tak sengaja ditemuinya dan Justin merasa tak pernah kenal
tapi terasa begitu akrab. Hidupnya benar-benar aneh....
Novel ini mengambil tema tentang donor di mana
penerima donor merasakan hal-hal yang pernah dialami oleh pemberi donor. Tema
yang hampir sama juga dipakai di film ‘Return to Me’-nya David Duchovny dan drama
korea ‘Summer Scent’. Bedanya yang didonorkan di kedua cerita tersebut adalah
organ jantung, sedangkan novel ini tentang ‘blood transfer’. Saya jadi
bertanya-tanya apa iya donor darah bisa menimbulkan efek yang sama sebagaimana
donor organ. Di sisi lain, Cecilia pandai meramu cerita dan menciptakan alur
yang seru, meski dengan tema ini ending cerita hampir pasti bisa tertebak.
Yah...bisa dibilang ala rom-com Hollywood, klise, mudah tertebak tapi tetep
asyik ditonton. Persimpangan kedua tokoh utama berulang kali sampai akhirnya
mereka baru bisa ‘bertemu’ di ending sedikit mengingatkan saya pada film lama
‘Sleepless in Seattle’. Satu tokoh yang membuat saya terkesan di novel ini
adalah karakter ayah Joyce, tipikal orang tua yang kolot dan tidak pernah pergi
jauh meninggalkan kampung halamannya. Lucu, kadang bikin sebal tapi suatu
ketika si bapak tua (saya lupa namanya) membuat saya terharu dengan cintanya
pada almarhumah ibu Joyce. Saya suka novel ini. Tak semengharu biru PS I Love
You, but sweet...