Penulis: M. Lili Nur Aulia
Penerbit: Pustaka Da’watuna, 2007
Halaman: 92 halaman
Semua orang pasti mengenal Hasan Al Banna sebagai pendiri
organisasi Ikhwanul Muslimin yang cabangnya sudah tersebar di seluruh dunia.
Banyak buku yang mengulas tentang kiprah politiknya, biografi dan
pemikiran-pemikirannya. Buku yang satu ini adalah sedikit di antaranya yang
membahas tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya
yaitu keluarganya.
Hasan Al Banna dibesarkan di sebuah keluarga sederhana yang
islami. Ayahnya –yang alumni Al Azhar- sering mengikutsertakan Al Banna dan
adiknya di majelis-majelis diskusi ilmiah yang diadakannya. Di usia 9 tahun, Al
Banna sudah menghafal 2/3 Al Qur’an. Menurut sang adik, ia tak pernah melihat
orang yang begitu banyak puasa dan shalat seperti kakaknya. Kemudian ketika Al Banna beranjak dewasa, sang
ibunda pun memilihkan jodoh yang terbaik dengan mengunjungi rumah para ulama
Ismailiyah dan merasa simpatik pada seorang putri dari keluarga sederhana yang
pandai melantunkan Al Qur’an. Wanita itulah yang kemudian menjadi ibu dari
keenam anak Hasan Al Banna. Hasan Al
Banna dikaruniai enam anak, yakni Wafa, Saiful Islam, Tsana, Roja’, Halah,dan
Isytishad. Hanya ketiga anak terbesar yang merasakan didikan sang ayah cukup
lama, sedangkan yang lainnya masih terlalu kecil ketika Al Banna meninggal
bahkan si bungsu masih dalam kandungan. Walau sesibuk apapun, Hasan Al Banna selalu
menyempatkan makan pagi bersama anak-anaknya. Beliau juga tak segan membawakan
bekal Tsana yang tertinggal ke sekolah. Terhadap sang istri, Hasan Al Banna
berusaha meringankan bebannya dengan membantu membeli kebutuhan rumah. Beliau
juga tidak pernah membangunkan istrinya saat pulang larut malam dan menyiapkan
sendiri makanan kecil untuk tamu-tamu yang datang ketika larut. Dalam
menasehati anak-anaknya, beliau tidak menasehati secara langsung, melainkan
dengan contoh. Misalnya ketika Saif sedang hobi membaca komik, Hasan Al Banna
tak serta merta melarangnya tetapi memberikan buku-buku lain yang lebih bermanfaat
sambil menceritakan isi buku tersebut yang tak kalah menariknya. Saat
membiasakan Wafa dan Tsana mencintai Al Qur’an, beliaulah yang pertama membaca
Al Qur’an dan mengajak mereka untuk menyimaknya. Ketika menghukum anak yang
melalaikan aturan rumah, Hasan Al Banna memukulnya tapi sama sekali tidak
keras, hanya untuk mengingatkan bahwa si anak telah melakukan kesalahan. Ketika
Tsana tak mau sekolah karena malu gara-gara tinggal kelas, beliau juga tak
langsung memaksanya. Alih-alih beliau mengatakan bahwa Tsana sangat bagus dalam
memasak, mungkin sebaiknya memang Tsana tinggal di rumah saja, membantu ibunya.
Mendengar hal itu, Tsana langsung mau masuk sekolah. Hehe... Hasan Al Banna
juga menyimpan secara rapi riwayat masing-masing anak dalam map tersendiri.
Mulai riwayat kelahiran, penyakit, obat-obat apa yang pernah dikonsumsi, sampai
pelajaran yang kurang dikuasai tiap anaknya dicatat dengan rapi. Beliau bahkan
menyempatkan untuk berkomunikasi dengan guru anaknya untuk menambah latihan
tertentu guna memperkuat bidang ilmu yang dirasa kurang dikuasai sang anak.
Terkadang Hasan Al Banna meminta bantuan para ikhwan untuk memantau
anak-anaknya dan memberikan les tambahan.
Saya selalu suka membaca buku yang bertutur layaknya
cerita, seperti buku ini. Praktek tarbiyah yang diterapkan Hasan Al Banna
terhadap anak-anaknya bisa menjadi inspirasi bagi para orang tua dalam mendidik
anak. Memang suri tauladan terbaik kita adalah Rasulullah SAW, tetapi Hasan Al
Banna sebagai contoh lahir seorang yang menerapkan tauladan Rasulullah dalam
berkeluarga pun tak ada salahnya kita contoh. Poin yang paling penting dari
buku ini adalah keterlibatan seorang ayah dalam mendidik anak sangatlah
penting. Zaman sekarang di mana ayah sibuk bekerja dan pulang malam, seolah
menjadi alasan legal jatuhnya tanggung jawab mendidik anak ke pundak sang ibu.
Hasan Al Banna yang sangat sibuk setiap hari saja, masih bisa meluangkan waktu
untuk mendidik langsung anak-anaknya meski dengan kesibukannya beliau hanya
tidur 4 jam sehari. Ibarat bangunan, ayahlah yang merancang dan membangun, ibu
yang mengisi bagian dalamnya. Ayah yang men-setting, ibu yang melaksanakan.
Bahkan ibu pun hasil didikan sang ayah. Begitu statemen Bu Wiwi, yang menulis
pengantar untuk buku ini. Dengan membaca buku ini, para ayah diharapkan
terdorong untuk lebih aktif dalam tarbiyatul aulad (mendidik anak), tidak hanya
aktif di dakwah masyarakat saja. Keduanya harus seimbang, sebagaimana yang
dilakukan Hasan Al Banna. Terakhir, kritik untuk buku ini (sempat-sempatnya...)
halamannya tidak cocok dengan daftar isi. Jadi agak sedikit susah ketika
mencari halaman tertentu dengan mengandalkan daftar isi.