22 Nov 2012

Resensi: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Halaman: 507 halaman

Sepeninggal Bapaknya yang meninggal tersengat ubur-ubur, Borno berhasil menuntaskan SMAnya. Ingin kuliah, apa daya biaya tak ada. Jadilah Borno pegawai pabrik karet, pekerjaan pertamanya. Tak disangka kemudian pabrik karet gulung tikar, ia pun alih profesi sebagai petugas karcis di dermaga pelampung (alias dermaga feri) meski sempat diboikot oleh para pengemudi sepit. Borno memang tinggal di gang sempit tepian Kapuas, di mana tetangganya mayoritas berprofesi pengemudi sepit, perahu kayu bermotor tempel alat transportasi sungai. Bahkan kakeknya dulu adalah juragan sepit sebelum jatuh bangkrut. Pengemudi sepit sangat benci kapal pelampung, yang dianggap menggeser popularitas sepit. Begitulah Borno pun berganti pekerjaan lagi dan lagi sampai akhirnya ia tak ada pilihan lain untuk terpaksa melanggar wasiat Bapaknya, jadi pengemudi sepit. Meski pekerjaan pengemudi sepit itu terlihat remeh dan tak bermasa depan, profesi itu menuntunnya pada banyak hal. Borno tak hanya menemukan minatnya akan teknik mesin, ia juga bertemu ‘si sendu menawan’ di atas sepit. Gadis cantik peranakan Cina yang kadang terlihat sendu itu awalnya menjatuhkan sepucuk amplop merah di sepit Borno. Amplop yang ternyata angpau itulah awal dari kisah cinta nan sederhana Borneo, si bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas...

Sebenarnya inti ceritanya sederhana saja, Borno seorang pemuda yang pemalu jatuh cinta pada Mei, seorang gadis keturunan Cina. Tapi kisah mereka terasa spesial justru karena cinta yang sederhana. Tanpa harus ikrar ‘I love you’, bergandengan tangan, atau kehadiran orang ketiga yang mengacau, Bang Tere berhasil menciptakan kisah cinta yang manis. “Cinta adalah perbuatan”, seperti kata Pak Tua di buku ini. Selain itu, novel ini mengangkat budaya multi etnis di Pontianak dengan apik. Simak saja nama-nama tetangga Borno, ada Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar, Kak Unai, Jauhari, Pak Tua. Tokoh-tokoh itu pun diberikan porsi cerita yang berimbang sehingga pembaca bisa mengetahui hiruk pikuk kehidupan di tepian Kapuas yang rukun dengan lebih hidup, tidak jadi sekedar tempelan cerita utama. Terus terang awalnya saya sedikit enggan membaca novel ini karena saya pikir akan serupa dengan novel dewasa Bang Tere yang sebelumnya (Daun yang jatuh...itu loh). Saya kurang suka yang satu itu. Tapi begitu membaca bab pertama, keengganan itu langsung hilang. Nah, kalau penasaran se-sespesial apa sih kisah Borno dan Mei ini, baca saja bukunya dan sampaikan seberapa spesial kisah mereka ke orang-orang terdekat Anda. Itu pesan yang tertulis di back cover buku ini.... I like this book^^v