23 Jul 2013

[Re-post] Menjadi Ibu dari Anakku


Ketika Hanif lahir hingga usianya menjelang 2 tahun, saya berpikir menjadi seorang ibu tidaklah sesulit yang kubayangkan sebelumnya. Hanif kecil sangat mudah diasuh, jarang rewel dan doyan makan. Selain keterlambatan bicara, semua perkembangannya cukup normal. Hanif memang belum bisa memanggil ayah ibu tapi ia senang bersenandung dan sudah hafal abjad di usia 20 bulan. Ayahnya sempat agak curiga ketika Hanif tidak menoleh ketika dipanggil atau melihatnya suka memutar-mutar benda. Namun di satu saat, ia bisa sangat responsif dan bisa dialihkan untuk tidak memutar benda. Ah, anak ini ngga papa koq, pikir saya waktu itu.
Saat usianya 2,5 tahun dan belum juga berbicara selain kata “aduh”, akhirnya saya memantapkan hati untuk membawanya ke Klinik Tumbuh Kembang di Harapan Kita. Hasilnya Hanif dinyatakan bisa bicara tapi tidak digunakannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Padahal fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Hanif sudah bisa menyanyi beberapa lagu, tapi jika ingin sesuatu ia hanya menarik tangan saya atau mbaknya. Selain itu, dokter juga bilang Hanif hanya tertarik pada benda, tidak pada orang. Memang waktu itu ia diminta bermain dan ketika mainannya diambil, ia sama sekali tidak melihat dokter yang mengambil mainannya juga tidak marah, Hanif hanya berusaha menggapai mainannya kembali dan ketika tidak bisa, ia beralih ke mainan yang lain. Lalu saya diberi rujukan untuk konsultasi dengan psikiater. Saya menemui 2 psikiater berbeda dan hasilnya memang ada gejala autis meski spektrumnya ringan. Mendengar semua itu, saya langsung lemas. Saya tahu anak autis itu ada, tapi baru terasa begitu nyata ketika predikat itu tertempel pada anak sendiri. Bulan pertama setelah itu adalah masa-masa yang stresful. Saya sempat merasa di kantor lebih menyenangkan daripada di rumah karena saya bisa melupakan barang sejenak. Hanif yang beberapa saat sebelumnya saya pikir anak yang easy going dan sedikit cuek, ternyata memang ada yang salah dengannya. Benar jika dikatakan bahwa penerimaan akan suatu kondisi tergantung pada tingkat ketakwaan manusia. Alhamdulillah, ayah Hanif menerimanya dengan lebih baik dan mendorong saya untuk terus berusaha untuk Hanif. Sedangkan saya...butuh waktu beberapa lama untuk bisa benar-benar menerima semua ini dan masih terus berusaha menata hati hingga kini.
Kini hampir setahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana kata “autis” mulai menjadi hal yang akrab di telinga saya. Sejak saat itu Hanif ikut terapi dan hasilnya alhamdulillah kosakatanya semakin banyak dan ia sudah bisa merangkai 2 kata. Memang kemampuan bicaranya masih setara umur 1,5 tahun, tapi bagi saya itu hal yang luar biasa mengingat awalnya saya sempat sangsi Hanif bisa mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata. Kontak mata dengan orang lain sudah lumayan, meski Hanif masih suka asyik dengan dirinya sendiri. Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya memantapkan diri mengambil cuti panjang untuk mengurus Hanif sendiri, keputusan yang juga tak pernah saya bayangkan akan berani saya ambil. Keluar dari kebebasan finansial, meski dibayangi biaya terapi yang tidak murah. Mungkin ini saatnya saya menempa jiwa tawakkal dan semangat pengiritan hehe...
Menjadi ibu dari anakku memberikanku pelajaran berharga
Bahwa menjadi sempurna bukanlah segala-galanya
Dan menjadi berbeda juga bukanlah aib
Menjadi ibu dari anakku mendorongku
Untuk lebih kuat dan terus berusaha
Memupuk kesabaran juga merajut keyakinan
Bahwa Allah pasti punya rencana terbaik bagi hambaNya. 

Ditulis 30 Juni 2011, dipos ulang untuk diikutsertakan dalam momtraveler’s first Giveaway “Blessing in Disguise”