ngeloyor sendiri |
Dulu
kalau saya mendengar laporan anak hilang yang disiarkan di mall, saya langsung
berpikiran pasti ortunya keasyikan belanja sampai-sampai ngga sadar kalau
anaknya hilang. Tak pernah menyangka bahwa suatu saat ternyata saya juga akan
mengalami hal yang sama.
Kejadian pertama saat Hanif diajak si ayah sholat di
masjid pertama kali. Waktu itu umurnya baru 1 tahun, belum bisa jalan dan masih
ngesot. Hanif yang awalnya duduk diam, beringsut menjauh saat tengah-tengah
sholat. Pas selesai, Hanif sudah tak ada di dalam masjid. Ternyata Hanif keluar
dari masjid lewat pintu di depan imam. Saat sampai di tangga pintu menuju ke
jalan, ada tetangga yang melihatnya dan langsung menggendongnya pulang. Si ayah
hampir copot jantungnya mengira anaknya hilang dan sejak itu Hanif ngga pernah
lagi diajak ke masjid, kecuali main ke masjid sama saya. Setelah kejadian itu,
beberapa kali Hanif keluar rumah tanpa pamit. Bukan karena tak diajari, tapi memang
Hanif belum bisa menjawab jika ditanya dan belum paham bahaya. Pernah saat si
mbak datang tanpa menutup kembali pintu pagar atau saat ada tamu dan pintu
pagar terbuka. Akhirnya pintu pagar rumah harus selalu terkunci.
Ketika mudik,
hal ini pun jadi problem tersendiri. Bagaimana tidak, rumah di desa jarang yang
diberi pagar. Bahkan pernah Hanif pergi
tanpa ada yang sadar. Tahu-tahu tetangga bilang Hanif ada di rumahnya dan tidak
mau pulang. Satu saat juga pernah ditolong oleh tukang ojek. Waktu itu saya
mengajak Hanif buka puasa bersama. Saat hendak menaruh makanan di belakang,
Hanif tak mau ikut dan duduk bersama bapak-bapak sambil makan kue. Saya ke
belakang sebentar, pas balik Hanif sudah tak ada. Anak-anak yang bermain di
halaman tak ada yang melihat dan pintu pagar dalam keadaan terbuka. Saya
langsung minta bapak-bapak untuk bantu mencari. Saat itulah seorang tukang ojek
bilang kalau ada anak kecil yang jalan sendirian menuju gerbang komplek.
Kemudian bapak tersebut langsung mengejar lalu membawa Hanif ke saya. Padahal
jalanan menuju gerbang komplek adalah jalan raya yang dilewati mobil.
Alhamdulillah, selalu ada pertolongan
Allah.
Seiring dengan perkembangannya, Hanif lebih tenang dan makin paham
larangan. Tapi ternyata hal itu sedikit membuat kami lengah. Sebulan lalu Hanif
hilang di Bintaro Plaza. Saat itu kami baru balik dari dokter, karena hujan
kami memutuskan berteduh di BP. Saya teringat sandal yang rusak dan ingin beli
sandal baru. Kami jalan-jalan di Cahaya. Hanif digendong si ayah, yang jalan di
belakang saya. Tiba-tiba Hanif minta turun. Ayahnya mengira Hanif ingin ikut
saya, jadi dibiarkannya Hanif jalan sendiri. Tahu dia mengejar, saya berlari
kecil di antara sepatu-sepatu sementara si ayah jalan sambil lihat-lihat. Pas
saya noleh ke belakang ‘lho koq Hanif ngga ada?’. Ayahnya yang berdiri 3 meter
dari saya memandang dengan tatapan tanya juga. Wah, paniklah saya. Memandang
sekeliling, Hanif sama sekali tak terlihat. Saya langsung menuju eskalator
karena Hanif suka eskalator. Ternyata ngga ada. Ayahnya yang berputar-putar di
dalam toko juga tak menemukannya. Saya lapor di bagian informasi, diumumkan
tapi kayaknya tak ada orang yang memperhatikan. Saat itu hari Sabtu, pengunjung
sedang ramai. Saya berlari mencari-cari sambil memanggil nama Hanif. Peduli
amat orang lain melihat. Kaki saya lemas, jantung berdebar-debar, khawatir
terjadi sesuatu pada Hanif. Dalam hati saya berdoa ‘Ya Allah, kalau saya masih
diberi kesempatan mengasuh Hanif, lindungi dia dan tuntunlah saya menemukannya’
sambil menghalau pikiran-pikiran negatif. Entah berapa lama saya dan ayahnya
mencari di dalam toko. Di luar hujan masih deras, banyak orang berdiri di pintu
keluar menunggu reda. Saya menuju ke sana, berharap Hanif ada di kerumunan
orang. Nihil...tapi tunggu...saya melihat anak berbaju kuning sedang main hujan
di emperan BP. Ternyata Hanif! Alhamdulillah, ya Allah... Ia nampak asyik
menghentak-hentakkan kaki di genangan air hujan, sementara pengunjung lain yang
sedang berteduh mungkin mengira ia salah satu dari anak-anak pengojek payung. Saya lari keluar menembus hujan dan
menggendongnya masuk. Beberapa orang memandang seolah bertanya, ‘Anak saya autis’, jawab saya tanpa ditanya. Saya tidak malu karenanya. Saya lepas bajunya di dalam toko. Sambil
mengganti bajunya, air mata saya mengalir. Tangisan campur aduk, tangisan
syukur juga tangisan nelangsa melihat Hanif yang tampak gembira habis main
hujan.
Mengenang berbagai kejadian tersebut sedikit banyak membuat saya sadar, saya
tak boleh lengah juga tak boleh melupakan doa di setiap langkah agar Allah
selalu menjaga Hanif. Semoga kejadian ini tak terulang lagi...