13 Mei 2014

Resensi: After School Club


Orizuka, Bentang Belia, 2012

Ceritanya tentang Putra, cowok populer, ganteng dan kaya, yang terpaksa masuk kelas tambahan seusai sekolah karena nilai pelajaran Fisikanya jeblok. Meski awalnya enggan bin ogah karena melihat ke'dodol'an anak-anak After School Club, mau tak mau ia harus menjalaninya atau ayahnya akan dipanggil ke sekolah. Entah akan seperti apa reaksi ayahnya jika tahu anak semata wayang yang diharapkannya jeblok nilainya. Di After School Club ada Cleo -ketua club yg jahilnya setengah mati-, ada si kembar Ruby-Mario yang maniak cosplay, Zia yang always 'make-up', Tiar, Panca, dan anak-anak lain yang keusilannya bikin geleng-geleng kepala anak SD (lebih parah soalnya). Bahkan mereka kompak memanggil Putra dengan sebutan "pangeran". Namun di balik meriahnya kelakuan mereka, Putra menemukan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat mereka semua selalu datang ke After School Club sepulang sekolah...meski nilai mereka tak lagi jeblok.

Kesan pertama yang terlintas di pikiran saya saat awal membaca buku ini "wah, koq sinetron banget". Cowok ganteng, tajir dengan cewek populer yang selalu 'nempel' walau bukan pacarnya, lalu sekelompok anak-anak 'nerd' yang jadi bulan-bulanan di sekolah *ugh... Hampir-hampir saya berhenti di awal bab. Tapi syukurlah semakin ke belakang ceritanya tak seperti dugaan awal saya. Buku ini mengingatkan saya pada film jadul The Breakfast Club. Ceritanya ngga mirip banget sih, tentang 5 siswa dari 'geng' berbeda yang terpaksa harus menjalani hukuman bersama di hari Sabtu. Selama menjalani hukuman, mereka jadi terbuka satu sama lain dan sadar akan kesamaan di antara mereka yakni mempunyai masalah keluarga. Meski hanya bersetting setengah hari, karakter tiap tokoh dalam film tersebut ter-explore dengan baik. Sayang sekali buku ini tak demikian, karakter anggota After School Club yang lain hanya jadi 'tempelan' pelengkap kisah Putra dan Cleo. Padahal cerita akan lebih berwarna jika tak hanya fokus pada satu orang. Keusilan member After School Club menurut saya terasa agak kekanakan untuk remaja setingkat SMU. Overall, saya cukup menikmati buku ini. Pesan moralnya ada, tentang teman sejati dan pentingnya komunikasi yang baik dengan orang tua. Saya jadi berpikir, apakah memang sesulit itu untuk mengemukakan pendapat pada ortu untuk abege sekarang^^ *alhamdulillah punya ortu yang supportive