Dua novel ini sudah saya baca sejak beberapa waktu yang
lalu. Keduanya sama-sama mengambil tokoh utama anak berkebutuhan khusus, tapi
di area yang berbeda. The Gifted Club membidik ABK ekstrem kanan –anak
berbakat-, sedangkan Mama Aku Lulus tentang anak autis.
Buku pertama berkisah
tentang persahabatan antara Asyiria, Dian, Matthew, dan Iman. Mereka berempat
bersekolah di tempat yang sama dan sama-sama terkenal bermasalah di kelasnya.
Matthew dan Iman suka membolos, Asyiria kerap kali panik berlebihan, dan Dian
–baginya tiada hari tanpa berkelahi dengan temannya-. Pihak sekolah sudah
menyerah terhadap kelakuan Asyria, Matthew, Dian dan Iman. Tapi tidak dengan Bu
Siska, adik kepala sekolah. Beliau akhirnya mendapat izin untuk memberikan
pelajaran tambahan di luar jam sekolah pada mereka berempat. Akhirnya
persahabatan terjalin di antara mereka dan mengkuak bahwa mereka ternyata
anak-anak berbakat. Asyiria piawai menulis, Dian supel dan selalu bersemangat,
Matthew jago matematika, dan Iman jenius di bidang musik.
Buku kedua berkisah
tentang hidup seorang Disa. Disa yang lahir dengan normal, tapi terlihat cuek
dan lambat bicara di usia 3 tahun ternyata didiagnosa autis. Meski demikian,
Disa tetap menyimpan keinginan bersekolah di SD –yang saat itu belum ada SD
inklusi-. SD yang ada hanya menerima anak-anak ‘normal’. Ternyata doa Disa
terjawab, sebuah SD bersedia menerimanya apa adanya meski sempat ditentang oleh
beberapa guru sekolah itu sendiri. Selanjutnya kisah mengalir tentang
perjalanan Disa menikmati masa-masa sekolahnya hingga berhasil lulus SD.
Kedua buku ini cukup menarik, mengulas tentang ABK tanpa harus membuat kening berkerut hehe... Terus terang saya lebih
suka –dan lebih cepat- membaca novel daripada buku/artikel ilmiah. The Gifted Club mengajak pembacanya menyelami kehidupan anak-anak berbakat –yang di luar
terlihat seperti anak lainnya tapi sebenarnya mereka juga membutuhkan perhatian
khusus-. Sayangnya hubungan mereka dengan teman-teman sekolahnya tidak
diceritakan lebih detil. Buku ini terfokus pada kehidupan mereka berempat dan orang-orang terdekatnya sampai mereka meraih sukses di masa dewasa. Tapi saya belajar banyak tentang ABK rentang kanan dan sisi kehidupan mereka dari buku ini. Sementara buku kedua lebih mengharu biru bagi
saya. Kisah hidup Disa –waktu kecil- mirip dengan Hanif. Dari buku ini saya
jadi memahami betapa indahnya pendidikan inklusi. ABK belajar bersosialisasi
dengan lingkungan normal yang heterogen –tak hanya sesama ABK saja-, sementara anak lain dapat
belajar berempati atas keadaan si anak ABK. Selama ini saya terus berpikir
kalau Hanif mungkin akan menghambat proses belajar jika ia sekolah di sekolah
umum. Tetapi di buku ini digambarkan bahwa teman-teman sekolah Disa
menerima keadaan Disa apa adanya, bahkan mereka sigap menjadi ‘tim dokter’ setiap kali Disa terserang kejang di
sekolah. Anda. Saat membaca bagian kelulusan Disa, saya pun ikut menangis. Yah...bagi orang tua ABK, pencapaian apapun oleh sang buah hati pastilah terasa luar biasa. Dua buku yang mencerahkan tak hanya bagi orang tua ABK, tapi juga
untuk semua orang. Happy reading^^...