28 Jun 2011

Habibie dan Ainun

Sebenarnya saya sudah lama membaca buku ini tapi selalu ingin menuliskannya. Buku ini memberikan kesan yang mendalam bagi diri saya. Sebagaimana judulnya, buku yang dipersembahkan Pak Habibie untuk almarhumah istrinya ini memang tidak hanya menceritakan tentang Ainun saja tetapi juga tentang Habibie sendiri. Kisah diawali dengan cerita perkenalan mereka yang kocak, kehidupan di Jerman, kiprah Habibie di politik Indonesia sampai pada masa-masa terakhir Ainun, terjalin dengan runtut dan detail. Ciri khas tulisan seorang profesor.

Meski sempat bosan membaca di bagian kiprah Habibie di bidang teknologi di Jerman –well, ini semata banyak istilah teknik yang saya ngga ngerti sama sekali-, buku ini berhasil melihat karakter Habibie dari sudut pandang lain. Sebelumnya Habibie bagi saya selalu identik dengan pro Soeharto dan partai politik gambar beringin. Tetapi buku ini berhasil mengingatkan saya bahwa Habibie adalah salah satu dari sedikit sekali putra bangsa yang memilih meninggalkan kenyamanan di luar negeri untuk pulang dan berjuang memajukan teknologi di negeri sendiri –yang kita tahu sendiri minim sekali penghargaannya pada peneliti-. Kalau pun akhirnya Habibie terjun ke politik praktis, yang saya tangkap adalah lebih karena semangat nasionalisme untuk turut memperbaiki negeri ini bukan untuk kepentingan pribadi. Yah, membaca buku ini sedikit banyak me-refresh kembali memori tentang sejarah Indonesia, hanya saja dari sudut pandang seorang Habibie.

Ainun tidak banyak diceritakan di bagian awal dan tengah buku ini. Tetapi Pak Habibie sering menyebut senyuman Ainun adalah penenang jiwanya. Ainun juga selalu dimintai pendapat ketika sang suami hendak mengambil keputusan apapun. Ainun yang cantik, populer dan menyandang gelar dokter lebih memilih untuk berkonsentrasi pada rumah tangganya. Kiprahnya di bidang sosial –Yayasan Orbit dan Rumah Sakit Mata- pun dilakukannya setelah anak-anak dewasa. “The big you, the small i”, begitulah filosofi Ainun sebagaimana sering disebutkan oleh Pak Habibie yang begitu menghargai peran istrinya yang selalu mengutamakan keluarga. Inilah salah satu yang saya kagumi dari Ibu Ainun. Family comes first... Ketika Ainun sakit, giliran Habibie yang mendampinginya sebagaimana yang selalu dilakukan Ainun terhadapnya selama puluhan tahun berumah tangga. Saat-saat terakhir Ainun membuat saya mengharu biru seolah menyaksikan sendiri betapa besar cinta Habibie terhadap istrinya. Memang akhirnya Ainun berpulang, tapi Habibie merasa ia tetap ada karena jiwanya dan jiwa Ainun telah manunggal. Saya sampai menangis membacanya... Buku ini recommended untuk semua orang terutama yang akan atau sudah menikah sebagai pedoman bagaimana saling mencintai sampai akhir hayat. What a true love...:)

Thx to Yogi untuk pinjeman bukunya.