29 Agu 2024

Film: Heartbreak Motel (2024)



Yeay...akhirnya nonton juga filmnya di minggu terakhir tayang di bioskop dan...saya lumayan surprise.
Film dibuka dengan adegan Ava bekerja sebagai housekeeping di sebuah hotel, kemudian berselang-seling dengan adegan Ava yang sedang akting, Ava di luar syuting, Ava remaja dan Ava kecil di tengah pertengkaran orang tuanya. Di kehidupannya sebagai housekeeper hotel, ia bertemu Raga -tamu hotel yang kerja di bidang finance-, sementara di kehidupan artis dia bertemu Reza -aktor lawan main yang kemudian jadi kekasihnya-. 

Saya surprise dengan alurnya, berbeda dengan novel meski ada beberapa hal yang sama. Di awal saya sempat menerka Ava punya kehidupan ganda, yang mana tak ada di novelnya. Kemudian voila...di tengah film barulah saya paham arah alurnya. Secara umum, saya lumayan menikmati film ini. Alurnya unik (sudah saya singgung sebelumnya), aktingnya jempolan (terutama Laura Basuki, bisa ya akting tanpa kata-kata tapi feelnya tetap sampai ke penonton) dan visualisasinya juga bagus. Namun saya agak kesulitan membedakan Ava dan Reza di kehidupan biasa dengan Ava dan Reza yang sedang syuting jadi pasangan suami istri *mbatin loh ini udh nikah atau belum sih.

Lalu karena saya baca novelnya, saya merasa ada bagian esensial yang hilang. Versi novelnya Ava yang mengalami childhood trauma sulit mencintai dirinya sendiri. Oleh karenanya ia suka akting, menemukan kesenangan menjadi orang lain sehingga untuk kembali menjadi dirinya, ia perlu menyepi di hotel yang ia sebut Heartbreak Motel. Di versi film, hotel lebih tampak sebagai pelarian Ava ketika terkena kasus dengan Reza, terlebih ia sampai menyamar sebagai housekeeper. Di novel, Ava kekeuh tidak mau mengungkap identitas aslinya dari Raga karena merasa Raga tidak akan mencintai 'Ava' yang sebenarnya. Di filmnya, sosok Ava yang sulit menerima dirinya sendiri ini seperti kurang tegas ditampilkan, lebih kepada panic attack yang kerap muncul dipicu hal-hal yang mirip trauma masa kecilnya. Lalu saya suka banget dengan scene di novel ketika Raga nembak "aku mau jadi orang yang menemani kamu menerima dirimu sendiri" *auto meleyot. Tapi ini ga ada di film hiks. Yaah, adaptasi novel dengan batasan durasi film memang tak mudah sehingga ceritanya dibuat sedemikian rupa. Mudahan nanti dibuat serial yang mirip novelnya *maunya saya. Oh iya satu lagi yang beda, di versi film Reza Malik (yang diperankan Reza Rahardian) berkali-kali lipat lebih tampol-able alias nyebelin daripada versi novelnya *hadeeh.

27 Agu 2024

Resensi: The Duke and I



Julia Quinn, 483 halaman
GPU, 2013

Inti cerita buku ini tentang hubungan palsu yang akhirnya jadi cinta betulan. Tokoh utamanya adalah Daphne (anak ke-4 dari Bridgerton bersaudara) yang merasa kerap di'friend-zone'kan oleh para pria di sekitarnya. Ia menyenangkan dijadikan teman tapi tidak untuk diperistri. Di sisi lain ada Simon Basset yang bertekad untuk tidak menikah karena 'luka' masa kecil. Padahal para ibu menganggapnya sebagai the most eligible bachelor untuk jodoh putrinya. Kemudian dalam suatu kejadian, Simon bertemu Daphne dan membuat kesepakatan. Daphne berharap pamornya naik dengan mengencani Simon dan Simon ingin menghalau para ibu yang berebut menyodorkan putrinya. 

Menurut saya, alur buku ini mudah ditebak dan agak sedikit membosankan. Tipikal historical romance. Kenapa serialnya begitu hits? Hhmm...saya menduga mungkin visualisasinya berperan besar. Walau saya belum berminat menontonnya. Sejujurnya membeli ebooknya di googleplay karena sedang diskon dan penasaran ceritanya.

Saya bukan penggemar historical romance ya, lebih suka yang genre roman modern (seperti Sophie Kinsella) atau fantasy (dongeng). Tapi saya suka Pride and Prejudice pada masanya haha (review di sini, sini, dan sini). Saya mulai kenal novel historical romance ketika SMA. Kebetulan ibu dari teman saya Dewi gemar membaca genre tersebut jadi saya diperbolehkan pinjam. Dari situ saya jadi tahu bahwa ada banyak levelnya, dari yang lite, medium, sampe 'kipas-kipas' haha.... Tidak banyak sih yang saya baca, cukup tahu aja. Saya pernah baca karangan Barbara Cartland (ini termasuk light), seri Harlequin (dari light sampai kipas ada) dan Nora Roberts (agak kipas sih ini). Kalau serial Bridgerton ini termasuk light menurut saya. Serinya ada 7 buku, masing-masing menceritakan kisah cinta dari 7 anggota keluarga Bridgerton walau tidak urut kelahiran. Daphne diceritakan pertama karena ia putri tertua meski anak ke-4. Biasanya saya suka dengan cerita yang berkaitan dalam satu universe. Tapi yang ini belum mendorong saya untuk ingin membaca seri berikutnya. 

Resensi: Gelap Terang Hidup Kartini


KPG, 2022 

Dulu saat masih sekolah, saya mengenal sosok Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita di Indonesia. Beliau mendirikan sekolah bagi para wanita di Jepara yang kala itu lazimnya tidak mengenyam pendidikan. Pemikirannya diketahui dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada Ny. Abendanon. Hanya sebatas itulah yang saya dapat dari pelajaran sejarah. Padahal saya merasa memiliki keterikatan dengan sosok Kartini, hanya karena lahir di tanggal yang sama haha...

Ketika Tempo menerbitkan seri tokoh bangsa, saya juga tak langsung tertarik. Maklum saya bukan penikmat biografi *lirik buku tentang Pak Hatta yang belum tuntas dibaca. Baru dibaca 1 dari 3 buku. Tapi ketika mengangkat Kartini, saya tertarik karena alasan sentimentil yang saya sebut sebelumnya daan...karena film Kartini besutan Hanung berhasil memantik rasa penasaran saya untuk mengenal sosok Kartini lebih jauh.

Meski disajikan secara singkat, buku ini banyak mengulik tentang pergolakan batin Kartini. Lahir sebagai putri bupati, tidak lantas membuatnya berdiam melihat ketidakadilan yang dialami kaum perempuan pada masa itu. Mulai dari perlakuan terhadap ibunya yang 'cuma' istri selir (ia bahkan tak boleh memanggil ibu pada ibu kandungnya), tradisi pingitan hingga pernikahan 'paksa'. Keterbukaan ayahnya Bupati Jepara turut berperan dalam perkembangan Kartini. Sang ayah mengizinkannya bersekolah (meski sampai sekolah dasar), melanggankan berbagai bacaan (yang membuatnya bisa mengasah kemampuan menulis dan berkorespondesi), membebaskannya dari pingitan (yang hanya dijalani Kartini 4 tahun), tidak memaksanya menikah, bahkan memberinya izin untuk bersekolah ke Belanda (meski tidak jadi berangkat). Selain kiprahnya yang sudah jamak diketahui seperti mendirikan sekolah wanita dan mengangkat nilai ukiran Jepara, Kartini juga pemikir yang gelisah. Hal ini dia tuangkan dalam berbagai tulisan ilmiah (sejak usia 16 tahun!). Sebagian besar ditulis dengan nama ayahnya dan nama samaran. Kegelisahannya juga tercurah melalui korespondesinya ke beberapa teman yang ternyata tak hanya Ny. Abendanon. Ada Estella -tokoh sosialis Belanda dan Ny. Ovink -isteri asisten residen Jepara. Total suratnya mencapai 361 pucuk surat (termasuk surat adik-adik Kartini). Yang dibukukan konon hanya sekitar 115 surat, wow... 

Buku ini jg mengungkap berbagai pandangan tentang kiprah Kartini. Sebagian pihak merasa Kartini adalah produk Belanda karena hubungannya yang intens dengan tokoh Belanda. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemikirannya cukup radikal untuk perempuan pribumi pada masa itu. Ketika akhirnya Kartini menerima pinangan Bupati Rembang pun (padahal sebelumnya ia menentang pernikahan paksa), banyak pendapat diungkap tentang alasan Kartini. Mungkin karena rasa sayangnya pada ayahanda yang mulai sakit-sakitan (yang selama ini sudah memberinya banyak kebebasan di tengah pandangan sinis orang lain), atau bisa juga ia telah melihat tak selamanya pernikahan yang dijodohkan itu buruk (dari pernikahan 2 saudarinya yang bahagia), atau karena didorong oleh kekecewaan tidak jadi berangkat sekolah ke Belanda. Tak ada yang tahu pasti. Konon Bupati Rembang melamar Kartini karena wasiat almarhumah istrinya yang mengagumi Kartini. Terlepas dari berbagai pandangan tentang Kartini, kiprahnya di usianya yang hanya seperempat abad telah mendorong kebangkitan (kembali) kiprah perempuan Indonesia. Kok kembali? Ya, jadi menurut buku Kisah kisah Pahlawan Nusantara (kapan kapan direviu) diungkap bahwa sesungguhnya peminggiran kaum perempuan bukanlah budaya feodal Jawa melainkan pengaruh dari Belanda sendiri. Konon 100 tahun sebelum Kartini lahir, kiprah perempuan sudah lazim diakui contohnya nenek buyut Pangeran Diponegoro yang juga memimpin pasukan. Menarik ya...

Membaca buku ini membuat saya menyadari bahwa saya berbeda dengan Kartini😏. Kayaknya saya tidak mungkin seberani beliau, memiliki pemikiran yang berbeda. *saya tipe-tipe malas konfrontasi. Singkat kata, biografi membuka cakrawala pandangan kita terhadap kondisi zaman tertentu. Oke saya akan mulai membaca biografi, ga novel melulu. Karena ditulis oleh jurnalis, buku ini seperti reportase yang mengungkap berbagai sudut pandang tentang satu peristiwa. Rasanya seperti jadi detektif,  menduga-duga alasan dari tindakan sang tokoh. Hal ini berbeda dengan biografi ala novel yang pernah saya baca, dimana tidak ada perdebatan pandangan di dalamnya. Di dalam buku ini, juga menyebutkan banyak judul buku lain tentang Kartini sebagai referensi. Mungkin suatu saat kalau saya tertarik, akan saya baca. Mungkin...entah kapan hehe...