22 Nov 2012

Foto Ganteng



Saya tak tahu kapan persisnya foto ini diambil, sepertinya saat Hanif baru masuk TK. Bergaya dengan seragam barunya seperti ini membuat saya menyadari ternyata anakku sudah gede ya... Perasaan baru kemarin digendong-gendong, sekarang sudah hampir lima tahun. Entah karena kebetulan atau emang yang motret jago (ogah mengakui:p), Hanif di foto ini kelihatan kinclong hehe... Yak, saya tetapkan foto ini sebagai foto ganteng, hadiahnya mejeng di blog dan wallpaper notebook (yaaah..-_-')

bergaya dengan batik baitul maal

Apa itu Terapi Sensori Integrasi? (Terapi#2)

ruang sensori integrasi di Spectrum



Ini tulisan kedua saya tentang jenis terapi.  Sekali lagi, tulisan ini berdasarkan pengetahuan saya yang terbatas dari sumber internet dan pengalaman pribadi (pernyataan disclaimer nih hehe).

Setiap hari, bahkan setiap detik otak manusia akan menerima banyak rangsangan, yang kemudian diterima, dihantarkan, diolah, dan diberikan respon yang sesuai melalui indera dan organ-organ yang dimiliki. Proses ini berlangsung sangat cepat, bahkan otomatis setiap saat. Nah, proses inilah yang disebut sensori integrasi.  Anak dengan gangguan perkembangan atau berkebutuhan khusus biasanya terganggu dalam proses sensori integrasinya. Gejalanya bisa bermacam-macam dan berbeda setiap anak. Contohnya anak saya, Hanif, baru bisa berjalan di usia 18 bulan. Agak terlambat tapi masih normal. Tapi ternyata Hanif belum bisa melompat sampai usianya sekitar 3 tahun, hal ini berdampak ia harus selalu berpegangan ketika naik undakan dan kekuatannya dalam mengayuh sepeda. Contoh lainnya, ada anak yang hipersensitif terhadap sentuhan, tidak suka dipeluk, dan tidak mau berjalan di rumput. Nah, yang seperti ini juga bisa diterapi sensori.
Jika ada yang pernah melihat proses terapi SI, akan tampak seperti sedang main-main di indoor playground. Memang seperti itulah terapinya, bermain secara terarah. Biasanya terapis akan melakukan assessment terlebih dahulu untuk menentukan jenis- jenis aktivitas yang bisa memperkuat kelemahan anak dan orang tua bisa mengulangnya di rumah. Jadi jika ada yang bilang ‘ngapain bayar mahal untuk mainan doang, mending main sendiri di playground’, itu salah besar. Terapis dapat membantu orang tua mengetahui kelemahan anak dan menyarankan jenis-jenis aktivitas yang sesuai. Mengajak anak main ke playground tanpa mengarahkannya ke aktivitas yang sesuai tidak akan menyelesaikan masalah karena anak cenderung memilih permainan yang disukai, bukan yang diperlukan. Di sinilah diperlukan peran orang tua dalam mengarahkan dan mengulang stimulasi sensori integrasi di rumah.

Ada beberapa istilah yang sering dipakai dalam indikator terapi sensori intergrasi.
Vestibular: sistem sensori  ini terletak di telinga bagian dalam, berfungsi untuk memberitahu bagaimana posisi kita di atas permukaan bumi dan memberikan respon selanjutnya. Misal jika kita hendak jatuh, maka tangan kita akan terjulur menahan atau mencari pegangan.
Proprioceptive: sistem sensori ini terdapat di dalam otot, berfungsi menginformasikan ke otak perihal posisi badan, gerakan yang dilakukan dan kekuatan yang dibutuhkan.
Tactile: sistem reseptor yang terdapat pada kulit disekujur tubuh, berperan menerima rangsang getaran, tekanan, rasa sakit,dan gerakan.

Beberapa alat yang digunakan di terapi sensori integrasi sebagai berikut.



Sikat sensori berfungsi untuk merangsang tactile. Biasanya disapukan di tangan, kaki dan punggung, tapi tidak boleh di perut, muka dan telapak. Untuk anak yang hipersensitif dan menolak sikat, bisa digunakan spon lembut sebagai tahap awal. Sikat sensori juga bisa meningkatkan awareness anak terhadap lingkungan sekitar. 
 




 
Bola bobath atau disebut juga bola pilates, bisa juga untuk terapi selain untuk senam emaknya^^. Meletakkan anak secara terlentang di atas bola dapat memperkuat tulang belakangnya. Anak diletakkan secara tengkurap di atas bola sambil kita pegangi kakinya lalu didorong ke depan pelan-pelan sehingga anak akan terdorong untuk merentangkan tangan ke depan menahan dirinya agar tidak jatuh. Hal ini dapat merangsang vestibular anak.
Banyak aktivitas lain yang dapat kita lakukan di rumah tanpa alat khusus. Untuk latihan tactile, dapat melakukan permainan tebak angka/huruf dengan digambar pakai jari di punggung anak. Untuk latihan vestibular, dapat diberikan melalui mengayun-ayun anak dengan kain atau naik ayunan. Latihan proprioseptive dapat dilakukan dengan membiarkan anak membawa sebagian belanjaan. Keseimbangan dapat dilatih dengan menuntun anak berjalan di titian dan masih banyak inspirasi bermain secara terarah yang bisa kita dapatkan baik dari terapis maupun membaca berbagai literatur. Jangan ragu untuk mengkonsultasikan dengan ahlinya jika terdapat perkembangan si kecil yang mencurigakan. Selamat bermain dengan anak!


Resensi: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Halaman: 507 halaman

Sepeninggal Bapaknya yang meninggal tersengat ubur-ubur, Borno berhasil menuntaskan SMAnya. Ingin kuliah, apa daya biaya tak ada. Jadilah Borno pegawai pabrik karet, pekerjaan pertamanya. Tak disangka kemudian pabrik karet gulung tikar, ia pun alih profesi sebagai petugas karcis di dermaga pelampung (alias dermaga feri) meski sempat diboikot oleh para pengemudi sepit. Borno memang tinggal di gang sempit tepian Kapuas, di mana tetangganya mayoritas berprofesi pengemudi sepit, perahu kayu bermotor tempel alat transportasi sungai. Bahkan kakeknya dulu adalah juragan sepit sebelum jatuh bangkrut. Pengemudi sepit sangat benci kapal pelampung, yang dianggap menggeser popularitas sepit. Begitulah Borno pun berganti pekerjaan lagi dan lagi sampai akhirnya ia tak ada pilihan lain untuk terpaksa melanggar wasiat Bapaknya, jadi pengemudi sepit. Meski pekerjaan pengemudi sepit itu terlihat remeh dan tak bermasa depan, profesi itu menuntunnya pada banyak hal. Borno tak hanya menemukan minatnya akan teknik mesin, ia juga bertemu ‘si sendu menawan’ di atas sepit. Gadis cantik peranakan Cina yang kadang terlihat sendu itu awalnya menjatuhkan sepucuk amplop merah di sepit Borno. Amplop yang ternyata angpau itulah awal dari kisah cinta nan sederhana Borneo, si bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas...

Sebenarnya inti ceritanya sederhana saja, Borno seorang pemuda yang pemalu jatuh cinta pada Mei, seorang gadis keturunan Cina. Tapi kisah mereka terasa spesial justru karena cinta yang sederhana. Tanpa harus ikrar ‘I love you’, bergandengan tangan, atau kehadiran orang ketiga yang mengacau, Bang Tere berhasil menciptakan kisah cinta yang manis. “Cinta adalah perbuatan”, seperti kata Pak Tua di buku ini. Selain itu, novel ini mengangkat budaya multi etnis di Pontianak dengan apik. Simak saja nama-nama tetangga Borno, ada Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar, Kak Unai, Jauhari, Pak Tua. Tokoh-tokoh itu pun diberikan porsi cerita yang berimbang sehingga pembaca bisa mengetahui hiruk pikuk kehidupan di tepian Kapuas yang rukun dengan lebih hidup, tidak jadi sekedar tempelan cerita utama. Terus terang awalnya saya sedikit enggan membaca novel ini karena saya pikir akan serupa dengan novel dewasa Bang Tere yang sebelumnya (Daun yang jatuh...itu loh). Saya kurang suka yang satu itu. Tapi begitu membaca bab pertama, keengganan itu langsung hilang. Nah, kalau penasaran se-sespesial apa sih kisah Borno dan Mei ini, baca saja bukunya dan sampaikan seberapa spesial kisah mereka ke orang-orang terdekat Anda. Itu pesan yang tertulis di back cover buku ini.... I like this book^^v

14 Nov 2012

Selamat Tahun Baru Hijriah!!!


Tahun baru, harapan baru. Satu harapan sederhana (tapi besar^^) semoga bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam hal apapun, perkembangan Hanif, jadi ibu dan isteri yang lebih baik dan lain-lain. Amiiin... Selamat Tahun Baru 1434H, semoga keberkahan Allah bagi semua saudaraku seiman. 

Menilik pawai Tahun Baru Hijriah di sekolah Hanif...ini dia hiruk-pikuknya^^.

Hanif dan Ican (salah satu temen yang dihafal Hanif)

Hanif in the middle of crowd

Sempet2nya...ngupil

11 Nov 2012

Resensi: Cinta di Rumah Hasan Al Banna





Penulis: M. Lili Nur Aulia
Penerbit: Pustaka Da’watuna, 2007
Halaman: 92 halaman

Semua orang pasti mengenal Hasan Al Banna sebagai pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin yang cabangnya sudah tersebar di seluruh dunia. Banyak buku yang mengulas tentang kiprah politiknya, biografi dan pemikiran-pemikirannya. Buku yang satu ini adalah sedikit di antaranya yang membahas tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya yaitu keluarganya. 

Hasan Al Banna dibesarkan di sebuah keluarga sederhana yang islami. Ayahnya –yang alumni Al Azhar- sering mengikutsertakan Al Banna dan adiknya di majelis-majelis diskusi ilmiah yang diadakannya. Di usia 9 tahun, Al Banna sudah menghafal 2/3 Al Qur’an. Menurut sang adik, ia tak pernah melihat orang yang begitu banyak puasa dan shalat seperti kakaknya.  Kemudian ketika Al Banna beranjak dewasa, sang ibunda pun memilihkan jodoh yang terbaik dengan mengunjungi rumah para ulama Ismailiyah dan merasa simpatik pada seorang putri dari keluarga sederhana yang pandai melantunkan Al Qur’an. Wanita itulah yang kemudian menjadi ibu dari keenam anak Hasan Al Banna.  Hasan Al Banna dikaruniai enam anak, yakni Wafa, Saiful Islam, Tsana, Roja’, Halah,dan Isytishad. Hanya ketiga anak terbesar yang merasakan didikan sang ayah cukup lama, sedangkan yang lainnya masih terlalu kecil ketika Al Banna meninggal bahkan si bungsu masih dalam kandungan.  Walau sesibuk apapun, Hasan Al Banna selalu menyempatkan makan pagi bersama anak-anaknya. Beliau juga tak segan membawakan bekal Tsana yang tertinggal ke sekolah. Terhadap sang istri, Hasan Al Banna berusaha meringankan bebannya dengan membantu membeli kebutuhan rumah. Beliau juga tidak pernah membangunkan istrinya saat pulang larut malam dan menyiapkan sendiri makanan kecil untuk tamu-tamu yang datang ketika larut. Dalam menasehati anak-anaknya, beliau tidak menasehati secara langsung, melainkan dengan contoh. Misalnya ketika Saif sedang hobi membaca komik, Hasan Al Banna tak serta merta melarangnya tetapi memberikan buku-buku lain yang lebih bermanfaat sambil menceritakan isi buku tersebut yang tak kalah menariknya. Saat membiasakan Wafa dan Tsana mencintai Al Qur’an, beliaulah yang pertama membaca Al Qur’an dan mengajak mereka untuk menyimaknya. Ketika menghukum anak yang melalaikan aturan rumah, Hasan Al Banna memukulnya tapi sama sekali tidak keras, hanya untuk mengingatkan bahwa si anak telah melakukan kesalahan. Ketika Tsana tak mau sekolah karena malu gara-gara tinggal kelas, beliau juga tak langsung memaksanya. Alih-alih beliau mengatakan bahwa Tsana sangat bagus dalam memasak, mungkin sebaiknya memang Tsana tinggal di rumah saja, membantu ibunya. Mendengar hal itu, Tsana langsung mau masuk sekolah. Hehe... Hasan Al Banna juga menyimpan secara rapi riwayat masing-masing anak dalam map tersendiri. Mulai riwayat kelahiran, penyakit, obat-obat apa yang pernah dikonsumsi, sampai pelajaran yang kurang dikuasai tiap anaknya dicatat dengan rapi. Beliau bahkan menyempatkan untuk berkomunikasi dengan guru anaknya untuk menambah latihan tertentu guna memperkuat bidang ilmu yang dirasa kurang dikuasai sang anak. Terkadang Hasan Al Banna meminta bantuan para ikhwan untuk memantau anak-anaknya dan memberikan les tambahan.

Saya selalu suka membaca buku yang bertutur layaknya cerita, seperti buku ini. Praktek tarbiyah yang diterapkan Hasan Al Banna terhadap anak-anaknya bisa menjadi inspirasi bagi para orang tua dalam mendidik anak. Memang suri tauladan terbaik kita adalah Rasulullah SAW, tetapi Hasan Al Banna sebagai contoh lahir seorang yang menerapkan tauladan Rasulullah dalam berkeluarga pun tak ada salahnya kita contoh. Poin yang paling penting dari buku ini adalah keterlibatan seorang ayah dalam mendidik anak sangatlah penting. Zaman sekarang di mana ayah sibuk bekerja dan pulang malam, seolah menjadi alasan legal jatuhnya tanggung jawab mendidik anak ke pundak sang ibu. Hasan Al Banna yang sangat sibuk setiap hari saja, masih bisa meluangkan waktu untuk mendidik langsung anak-anaknya meski dengan kesibukannya beliau hanya tidur 4 jam sehari. Ibarat bangunan, ayahlah yang merancang dan membangun, ibu yang mengisi bagian dalamnya. Ayah yang men-setting, ibu yang melaksanakan. Bahkan ibu pun hasil didikan sang ayah. Begitu statemen Bu Wiwi, yang menulis pengantar untuk buku ini. Dengan membaca buku ini, para ayah diharapkan terdorong untuk lebih aktif dalam tarbiyatul aulad (mendidik anak), tidak hanya aktif di dakwah masyarakat saja. Keduanya harus seimbang, sebagaimana yang dilakukan Hasan Al Banna. Terakhir, kritik untuk buku ini (sempat-sempatnya...) halamannya tidak cocok dengan daftar isi. Jadi agak sedikit susah ketika mencari halaman tertentu dengan mengandalkan daftar isi.


Resep: Donat Gula Tanpa Telur

Masih modifikasi dari resep eggless donut. Tak seperti donat yang pakai kuning telur, donat tanpa telur akan menjadi keras ketika sudah dingin. Kalau sudah keras, sudah pasti engga kemakan. Nah, solusinya dengan mengurangi takaran gula di adonan atau meniadakannya

Bahan:
1 gelas terigu segitiga 
1 sdt gula pasir (boleh juga dihilangkan) 
1 sdt ragi instan 
½ sdm tepung kentang 
80 ml air 
1 sdm margarin 
Gula donat secukupnya

Cara:
  1. Campur terigu,gula, ragi, tepung kentang dan air sampai menggumpal jadi satu. 
  2. Tambahkan margarin lalu uleni sampai kalis. 
  3. Bentuk bulat-bulat sesuai selera, letakkan di atas nampan kayu, beri jarak antar bulatan. Tutup nampan dengan serbet bersih, diamkan 45-60 menit. 
  4. Buat lubang di tengah adonan sambil diangkat, goreng dalam minyak panas sedang sampai setengah matang ( donat sudah berkulit dan masih kuning pucat). Jika hendak dimakan, donat digoreng kembali sampai kecoklatan. Sajikan dengan gula donat.
Menggoreng donat setengah matang juga bisa dipakai ketika donat tak habis dalam sehari. Donat bisa dimasukkan ke kulkas dan digoreng lagi saat hendak dimakan. Sedikitnya kandungan gula dalam adonan donat akan membuat donat tak cepat gosong dan warnanya tetap cantik walau 2 kali goreng. Trik ini terinspirasi dari mbak-mbak penjual donat homemade di mall-mall. Dengan cara ini, pelayanan jadi lebih cepat karena penggorengan kedua waktunya lebih singkat. Selain itu, rasa donatnya juga tetep enak karena ngga kelamaan terfermentasi. Selamat mencoba^^.

yang 6 biji digoreng setengah matang, yang 3 digoreng matang

donat gula siap dimakaan...ukurannya ngga sama ya hehe...
 

Resensi: Thanks for The Memories




Penulis: Cecilia Ahern
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Joyce mengalami beberapa keanehan sejak ia pulang dari rumah sakit-karena keguguran-. Tiba-tiba saja ia menjadi tahu banyak tentang sejarah benda-benda seni dan arsitektur bangunan. Bukan hanya itu, ia juga bertemu dengan seorang laki-laki asing –yang entah kenapa terasa familiar- di sebuah salon sepulang dari rumah sakit. Keanehan tersebut sempat terlupakan oleh perasaan pilunya akibat kehilangan bayi dan kegagalan rumah tangga. Rumah tangga yang ia harapkan akan menghangat kembali dengan hadirnya seorang bayi, ternyata memang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Joyce memutuskan menjual rumah dan tinggal bersama ayahnya yang sudah renta. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan ke kota bersama sang ayah, dia melihat laki-laki itu dan laki-laki itu juga melihatnya...

Justin sangat takut dengan jarum suntik. Sebagai pria dewasa, tentu saja ia malu mengakuinya. Saat mengajar sebagai dosen tamu di sebuah universitas, Sarah –si dokter cantik- berhasil membujuknya untuk mendonorkan darah. Justin meyakinkan dirinya bahwa seseorang yang mungkin terselamatkan jiwanya oleh darahnya suatu saat akan membalas budi padanya. Pikiran konyolnya sempat ditertawakan oleh Bea, putrinya. Akan tetapi keinginannya terkabulkan, penerima donor misterius itu benar-benar berterima kasih padanya dan mengiriminya ini-itu –persis seperti yang diharapkan Justin-.  Keanehan yang lain adalah seorang wanita yang berulang kali tak sengaja ditemuinya dan Justin merasa tak pernah kenal tapi terasa begitu akrab. Hidupnya benar-benar aneh....
 
Novel ini mengambil tema tentang donor di mana penerima donor merasakan hal-hal yang pernah dialami oleh pemberi donor. Tema yang hampir sama juga dipakai di film ‘Return to Me’-nya David Duchovny dan drama korea ‘Summer Scent’. Bedanya yang didonorkan di kedua cerita tersebut adalah organ jantung, sedangkan novel ini tentang ‘blood transfer’. Saya jadi bertanya-tanya apa iya donor darah bisa menimbulkan efek yang sama sebagaimana donor organ. Di sisi lain, Cecilia pandai meramu cerita dan menciptakan alur yang seru, meski dengan tema ini ending cerita hampir pasti bisa tertebak. Yah...bisa dibilang ala rom-com Hollywood, klise, mudah tertebak tapi tetep asyik ditonton. Persimpangan kedua tokoh utama berulang kali sampai akhirnya mereka baru bisa ‘bertemu’ di ending sedikit mengingatkan saya pada film lama ‘Sleepless in Seattle’. Satu tokoh yang membuat saya terkesan di novel ini adalah karakter ayah Joyce, tipikal orang tua yang kolot dan tidak pernah pergi jauh meninggalkan kampung halamannya. Lucu, kadang bikin sebal tapi suatu ketika si bapak tua (saya lupa namanya) membuat saya terharu dengan cintanya pada almarhumah ibu Joyce. Saya suka novel ini. Tak semengharu biru PS I Love You, but sweet...





Latihan Manasik Haji



Bulan Oktober lalu menjelang hari raya Idul Adha, sekolah Hanif mengadakan latihan manasik haji setelah dua minggu sebelumnya Hanif dan kawan-kawannya selalu latihan setiap hari sebelum masuk kelas. Hasilnya Hanif sudah bisa menghafal doa thawaf, meski kata gurunya dia sama sekali tidak membuka mulutnya ketika praktek. Lucu banget lihat anak-anak kecil berpakaian ihram. Sayang orang tua tidak diperbolehkan mendampingi saking banyaknya peserta, hanya ibu guru yang boleh mendampingi. Ternyata sekolah lain juga diundang latihan manasik bareng. Tapi saya cukup tenang karena Hanif didampingi shadow teachernya –yang saya minta masuk minggu-minggu hehe-.  Ini foto-foto seusai acaranya....
 
bersama bu guru dan teman sekloter

hanif dan shadow teachernya -bu nita-

capek naik haji, makan biskuit dulu^^