5 Jul 2012

Terima Rapor!!


Hasil karya Hanif
Minggu lalu Hanif sudah terima rapor. Alhamdulillah banyak peningkatan dibandingkan semester sebelumnya. Meski saya berusaha untuk tidak terlalu berpatok pada nilai rapor, bagaimana pun juga rapor adalah salah satu indikator untuk memantau perkembangan Hanif. Tentu saja Hanif sendiri belum ‘ngeh’ rapor itu apa, cukup buat konsumsi ortunya saja. 

Untuk kognitif, Hanif lebih unggul dibanding indikator lainnya. Wajar sih, karena Hanif memang suka huruf dan angka, selain itu dia juga tajam terhadap irama, yang membuatnya gampang hafal jingle iklan, lagu, bahkan doa sehari-hari yang notabene berirama juga. Hal lain yang meningkat adalah kecerdasan emosi. Alhamdulillah semester dua ini Hanif ngga nangis lagi kalau berangkat sekolah, bahkan langsung gabung berbaris di halaman dengan happy. Kesadaran lingkungannya pun makin bagus, ketika teman lainnya dijemput dan saya belum datang, Hanif akan mencari dan bilang ‘mau ibu’. Awalnya tantrum berat kalau saya telat jemput, tapi sekarang sudah bisa diminta sabar menunggu. Konsentrasinya juga bertambah baik meski masih pendek. Menyelesaikan puzzle 5 keping sudah bisa dilakukan Hanif sendiri. Sementara itu motorik halusnya masih perlu banyak latihan. Hanif mulai bisa memegang pensil, tapi belum mantap menggoreskan. Mewarnai masih harus terus diarahkan. Motorik kasar juga mengalami perkembangan, seperti lompatan yang makin mantap, dan mulai suka bermain bola bersama teman. Tentang main bola, awalnya ibu guru yang mengajak anak-anak main bola di lapangan, trus sorenya Hanif jadi suka nendang-nendang bola di rumah. Padahal punya bola dah dari tahun kapan, dianggurin melulu di pojok kamar. Rupanya baru engeh enaknya main bola ya Hanif. 

Kemudian yang masih jadi PR emaknya juga ibu guru adalah komunikasi 2 arah, kontak mata, rentang konsentrasi, dan hipersensitif Hanif terhadap tekstur dan bunyi tertentu. Komunikasi 2 arah masih belum bisa karena Hanif belum dapat bercerita spontan, masih sebatas menjawab dan imitasi. Kontak mata...yah begitulah...masih sekilas dan seikhlas Hanif hehe. Konsentrasi juga demikian, masih gampang terdistrak apalagi kalau pas makannya ngga terjaga. Hanif juga masih jijik memegang lem, crayon (tanpa dilapisi kertas), cat finger painting dan buah salak yang kasar. 

Begitulah perkembangan Hanif selama setahun sekolah playgrup. Semoga Hanif bisa enjoy di TK nanti dan dapat teman-teman yang baik. Semoga juga ibu guru TK dan teman-temannya bisa memahami Hanif. Moga ibunya pun tambah sabar dalam membimbing amanah Allah yang satu ini, Hanif. Amin 3x, terutama poin yang terakhir hehe... Oh ya, predikat yang didapat Hanif semester ini “Cerdas Membaca Talaqqi.” Alhamdulillah^^... Keep fighting Hanif, semangaadh!!!

Missing Child

ngeloyor sendiri

Dulu kalau saya mendengar laporan anak hilang yang disiarkan di mall, saya langsung berpikiran pasti ortunya keasyikan belanja sampai-sampai ngga sadar kalau anaknya hilang. Tak pernah menyangka bahwa suatu saat ternyata saya juga akan mengalami hal yang sama. 

Kejadian pertama saat Hanif diajak si ayah sholat di masjid pertama kali. Waktu itu umurnya baru 1 tahun, belum bisa jalan dan masih ngesot. Hanif yang awalnya duduk diam, beringsut menjauh saat tengah-tengah sholat. Pas selesai, Hanif sudah tak ada di dalam masjid. Ternyata Hanif keluar dari masjid lewat pintu di depan imam. Saat sampai di tangga pintu menuju ke jalan, ada tetangga yang melihatnya dan langsung menggendongnya pulang. Si ayah hampir copot jantungnya mengira anaknya hilang dan sejak itu Hanif ngga pernah lagi diajak ke masjid, kecuali main ke masjid sama saya. Setelah kejadian itu, beberapa kali Hanif keluar rumah tanpa pamit. Bukan karena tak diajari, tapi memang Hanif belum bisa menjawab jika ditanya dan belum paham bahaya. Pernah saat si mbak datang tanpa menutup kembali pintu pagar atau saat ada tamu dan pintu pagar terbuka. Akhirnya pintu pagar rumah harus selalu terkunci. 

Ketika mudik, hal ini pun jadi problem tersendiri. Bagaimana tidak, rumah di desa jarang yang  diberi pagar. Bahkan pernah Hanif pergi tanpa ada yang sadar. Tahu-tahu tetangga bilang Hanif ada di rumahnya dan tidak mau pulang. Satu saat juga pernah ditolong oleh tukang ojek. Waktu itu saya mengajak Hanif buka puasa bersama. Saat hendak menaruh makanan di belakang, Hanif tak mau ikut dan duduk bersama bapak-bapak sambil makan kue. Saya ke belakang sebentar, pas balik Hanif sudah tak ada. Anak-anak yang bermain di halaman tak ada yang melihat dan pintu pagar dalam keadaan terbuka. Saya langsung minta bapak-bapak untuk bantu mencari. Saat itulah seorang tukang ojek bilang kalau ada anak kecil yang jalan sendirian menuju gerbang komplek. Kemudian bapak tersebut langsung mengejar lalu membawa Hanif ke saya. Padahal jalanan menuju gerbang komplek adalah jalan raya yang dilewati mobil. Alhamdulillah, selalu ada  pertolongan Allah. 

Seiring dengan perkembangannya, Hanif lebih tenang dan makin paham larangan. Tapi ternyata hal itu sedikit membuat kami lengah. Sebulan lalu Hanif hilang di Bintaro Plaza. Saat itu kami baru balik dari dokter, karena hujan kami memutuskan berteduh di BP. Saya teringat sandal yang rusak dan ingin beli sandal baru. Kami jalan-jalan di Cahaya. Hanif digendong si ayah, yang jalan di belakang saya. Tiba-tiba Hanif minta turun. Ayahnya mengira Hanif ingin ikut saya, jadi dibiarkannya Hanif jalan sendiri. Tahu dia mengejar, saya berlari kecil di antara sepatu-sepatu sementara si ayah jalan sambil lihat-lihat. Pas saya noleh ke belakang ‘lho koq Hanif ngga ada?’. Ayahnya yang berdiri 3 meter dari saya memandang dengan tatapan tanya juga. Wah, paniklah saya. Memandang sekeliling, Hanif sama sekali tak terlihat. Saya langsung menuju eskalator karena Hanif suka eskalator. Ternyata ngga ada. Ayahnya yang berputar-putar di dalam toko juga tak menemukannya. Saya lapor di bagian informasi, diumumkan tapi kayaknya tak ada orang yang memperhatikan. Saat itu hari Sabtu, pengunjung sedang ramai. Saya berlari mencari-cari sambil memanggil nama Hanif. Peduli amat orang lain melihat. Kaki saya lemas, jantung berdebar-debar, khawatir terjadi sesuatu pada Hanif. Dalam hati saya berdoa ‘Ya Allah, kalau saya masih diberi kesempatan mengasuh Hanif, lindungi dia dan tuntunlah saya menemukannya’ sambil menghalau pikiran-pikiran negatif. Entah berapa lama saya dan ayahnya mencari di dalam toko. Di luar hujan masih deras, banyak orang berdiri di pintu keluar menunggu reda. Saya menuju ke sana, berharap Hanif ada di kerumunan orang. Nihil...tapi tunggu...saya melihat anak berbaju kuning sedang main hujan di emperan BP. Ternyata Hanif! Alhamdulillah, ya Allah... Ia nampak asyik menghentak-hentakkan kaki di genangan air hujan, sementara pengunjung lain yang sedang berteduh mungkin mengira ia salah satu dari anak-anak pengojek payung. Saya lari keluar menembus hujan dan menggendongnya masuk. Beberapa orang memandang seolah bertanya, ‘Anak saya autis’, jawab saya tanpa ditanya. Saya tidak malu karenanya. Saya lepas bajunya di dalam toko. Sambil mengganti bajunya, air mata saya mengalir. Tangisan campur aduk, tangisan syukur juga tangisan nelangsa melihat Hanif yang tampak gembira habis main hujan. 

Mengenang berbagai kejadian tersebut sedikit banyak membuat saya sadar, saya tak boleh lengah juga tak boleh melupakan doa di setiap langkah agar Allah selalu menjaga Hanif. Semoga kejadian ini tak terulang lagi...