27 Agu 2024

Resensi: Gelap Terang Hidup Kartini


KPG, 2022 

Dulu saat masih sekolah, saya mengenal sosok Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita di Indonesia. Beliau mendirikan sekolah bagi para wanita di Jepara yang kala itu lazimnya tidak mengenyam pendidikan. Pemikirannya diketahui dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada Ny. Abendanon. Hanya sebatas itulah yang saya dapat dari pelajaran sejarah. Padahal saya merasa memiliki keterikatan dengan sosok Kartini, hanya karena lahir di tanggal yang sama haha...

Ketika Tempo menerbitkan seri tokoh bangsa, saya juga tak langsung tertarik. Maklum saya bukan penikmat biografi *lirik buku tentang Pak Hatta yang belum tuntas dibaca. Baru dibaca 1 dari 3 buku. Tapi ketika mengangkat Kartini, saya tertarik karena alasan sentimentil yang saya sebut sebelumnya daan...karena film Kartini besutan Hanung berhasil memantik rasa penasaran saya untuk mengenal sosok Kartini lebih jauh.

Meski disajikan secara singkat, buku ini banyak mengulik tentang pergolakan batin Kartini. Lahir sebagai putri bupati, tidak lantas membuatnya berdiam melihat ketidakadilan yang dialami kaum perempuan pada masa itu. Mulai dari perlakuan terhadap ibunya yang 'cuma' istri selir (ia bahkan tak boleh memanggil ibu pada ibu kandungnya), tradisi pingitan hingga pernikahan 'paksa'. Keterbukaan ayahnya Bupati Jepara turut berperan dalam perkembangan Kartini. Sang ayah mengizinkannya bersekolah (meski sampai sekolah dasar), melanggankan berbagai bacaan (yang membuatnya bisa mengasah kemampuan menulis dan berkorespondesi), membebaskannya dari pingitan (yang hanya dijalani Kartini 4 tahun), tidak memaksanya menikah, bahkan memberinya izin untuk bersekolah ke Belanda (meski tidak jadi berangkat). Selain kiprahnya yang sudah jamak diketahui seperti mendirikan sekolah wanita dan mengangkat nilai ukiran Jepara, Kartini juga pemikir yang gelisah. Hal ini dia tuangkan dalam berbagai tulisan ilmiah (sejak usia 16 tahun!). Sebagian besar ditulis dengan nama ayahnya dan nama samaran. Kegelisahannya juga tercurah melalui korespondesinya ke beberapa teman yang ternyata tak hanya Ny. Abendanon. Ada Estella -tokoh sosialis Belanda dan Ny. Ovink -isteri asisten residen Jepara. Total suratnya mencapai 361 pucuk surat (termasuk surat adik-adik Kartini). Yang dibukukan konon hanya sekitar 115 surat, wow... 

Buku ini jg mengungkap berbagai pandangan tentang kiprah Kartini. Sebagian pihak merasa Kartini adalah produk Belanda karena hubungannya yang intens dengan tokoh Belanda. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemikirannya cukup radikal untuk perempuan pribumi pada masa itu. Ketika akhirnya Kartini menerima pinangan Bupati Rembang pun (padahal sebelumnya ia menentang pernikahan paksa), banyak pendapat diungkap tentang alasan Kartini. Mungkin karena rasa sayangnya pada ayahanda yang mulai sakit-sakitan (yang selama ini sudah memberinya banyak kebebasan di tengah pandangan sinis orang lain), atau bisa juga ia telah melihat tak selamanya pernikahan yang dijodohkan itu buruk (dari pernikahan 2 saudarinya yang bahagia), atau karena didorong oleh kekecewaan tidak jadi berangkat sekolah ke Belanda. Tak ada yang tahu pasti. Konon Bupati Rembang melamar Kartini karena wasiat almarhumah istrinya yang mengagumi Kartini. Terlepas dari berbagai pandangan tentang Kartini, kiprahnya di usianya yang hanya seperempat abad telah mendorong kebangkitan (kembali) kiprah perempuan Indonesia. Kok kembali? Ya, jadi menurut buku Kisah kisah Pahlawan Nusantara (kapan kapan direviu) diungkap bahwa sesungguhnya peminggiran kaum perempuan bukanlah budaya feodal Jawa melainkan pengaruh dari Belanda sendiri. Konon 100 tahun sebelum Kartini lahir, kiprah perempuan sudah lazim diakui contohnya nenek buyut Pangeran Diponegoro yang juga memimpin pasukan. Menarik ya...

Membaca buku ini membuat saya menyadari bahwa saya berbeda dengan Kartini😏. Kayaknya saya tidak mungkin seberani beliau, memiliki pemikiran yang berbeda. *saya tipe-tipe malas konfrontasi. Singkat kata, biografi membuka cakrawala pandangan kita terhadap kondisi zaman tertentu. Oke saya akan mulai membaca biografi, ga novel melulu. Karena ditulis oleh jurnalis, buku ini seperti reportase yang mengungkap berbagai sudut pandang tentang satu peristiwa. Rasanya seperti jadi detektif,  menduga-duga alasan dari tindakan sang tokoh. Hal ini berbeda dengan biografi ala novel yang pernah saya baca, dimana tidak ada perdebatan pandangan di dalamnya. Di dalam buku ini, juga menyebutkan banyak judul buku lain tentang Kartini sebagai referensi. Mungkin suatu saat kalau saya tertarik, akan saya baca. Mungkin...entah kapan hehe...