11 Nov 2012

Resensi: Cinta di Rumah Hasan Al Banna





Penulis: M. Lili Nur Aulia
Penerbit: Pustaka Da’watuna, 2007
Halaman: 92 halaman

Semua orang pasti mengenal Hasan Al Banna sebagai pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin yang cabangnya sudah tersebar di seluruh dunia. Banyak buku yang mengulas tentang kiprah politiknya, biografi dan pemikiran-pemikirannya. Buku yang satu ini adalah sedikit di antaranya yang membahas tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya yaitu keluarganya. 

Hasan Al Banna dibesarkan di sebuah keluarga sederhana yang islami. Ayahnya –yang alumni Al Azhar- sering mengikutsertakan Al Banna dan adiknya di majelis-majelis diskusi ilmiah yang diadakannya. Di usia 9 tahun, Al Banna sudah menghafal 2/3 Al Qur’an. Menurut sang adik, ia tak pernah melihat orang yang begitu banyak puasa dan shalat seperti kakaknya.  Kemudian ketika Al Banna beranjak dewasa, sang ibunda pun memilihkan jodoh yang terbaik dengan mengunjungi rumah para ulama Ismailiyah dan merasa simpatik pada seorang putri dari keluarga sederhana yang pandai melantunkan Al Qur’an. Wanita itulah yang kemudian menjadi ibu dari keenam anak Hasan Al Banna.  Hasan Al Banna dikaruniai enam anak, yakni Wafa, Saiful Islam, Tsana, Roja’, Halah,dan Isytishad. Hanya ketiga anak terbesar yang merasakan didikan sang ayah cukup lama, sedangkan yang lainnya masih terlalu kecil ketika Al Banna meninggal bahkan si bungsu masih dalam kandungan.  Walau sesibuk apapun, Hasan Al Banna selalu menyempatkan makan pagi bersama anak-anaknya. Beliau juga tak segan membawakan bekal Tsana yang tertinggal ke sekolah. Terhadap sang istri, Hasan Al Banna berusaha meringankan bebannya dengan membantu membeli kebutuhan rumah. Beliau juga tidak pernah membangunkan istrinya saat pulang larut malam dan menyiapkan sendiri makanan kecil untuk tamu-tamu yang datang ketika larut. Dalam menasehati anak-anaknya, beliau tidak menasehati secara langsung, melainkan dengan contoh. Misalnya ketika Saif sedang hobi membaca komik, Hasan Al Banna tak serta merta melarangnya tetapi memberikan buku-buku lain yang lebih bermanfaat sambil menceritakan isi buku tersebut yang tak kalah menariknya. Saat membiasakan Wafa dan Tsana mencintai Al Qur’an, beliaulah yang pertama membaca Al Qur’an dan mengajak mereka untuk menyimaknya. Ketika menghukum anak yang melalaikan aturan rumah, Hasan Al Banna memukulnya tapi sama sekali tidak keras, hanya untuk mengingatkan bahwa si anak telah melakukan kesalahan. Ketika Tsana tak mau sekolah karena malu gara-gara tinggal kelas, beliau juga tak langsung memaksanya. Alih-alih beliau mengatakan bahwa Tsana sangat bagus dalam memasak, mungkin sebaiknya memang Tsana tinggal di rumah saja, membantu ibunya. Mendengar hal itu, Tsana langsung mau masuk sekolah. Hehe... Hasan Al Banna juga menyimpan secara rapi riwayat masing-masing anak dalam map tersendiri. Mulai riwayat kelahiran, penyakit, obat-obat apa yang pernah dikonsumsi, sampai pelajaran yang kurang dikuasai tiap anaknya dicatat dengan rapi. Beliau bahkan menyempatkan untuk berkomunikasi dengan guru anaknya untuk menambah latihan tertentu guna memperkuat bidang ilmu yang dirasa kurang dikuasai sang anak. Terkadang Hasan Al Banna meminta bantuan para ikhwan untuk memantau anak-anaknya dan memberikan les tambahan.

Saya selalu suka membaca buku yang bertutur layaknya cerita, seperti buku ini. Praktek tarbiyah yang diterapkan Hasan Al Banna terhadap anak-anaknya bisa menjadi inspirasi bagi para orang tua dalam mendidik anak. Memang suri tauladan terbaik kita adalah Rasulullah SAW, tetapi Hasan Al Banna sebagai contoh lahir seorang yang menerapkan tauladan Rasulullah dalam berkeluarga pun tak ada salahnya kita contoh. Poin yang paling penting dari buku ini adalah keterlibatan seorang ayah dalam mendidik anak sangatlah penting. Zaman sekarang di mana ayah sibuk bekerja dan pulang malam, seolah menjadi alasan legal jatuhnya tanggung jawab mendidik anak ke pundak sang ibu. Hasan Al Banna yang sangat sibuk setiap hari saja, masih bisa meluangkan waktu untuk mendidik langsung anak-anaknya meski dengan kesibukannya beliau hanya tidur 4 jam sehari. Ibarat bangunan, ayahlah yang merancang dan membangun, ibu yang mengisi bagian dalamnya. Ayah yang men-setting, ibu yang melaksanakan. Bahkan ibu pun hasil didikan sang ayah. Begitu statemen Bu Wiwi, yang menulis pengantar untuk buku ini. Dengan membaca buku ini, para ayah diharapkan terdorong untuk lebih aktif dalam tarbiyatul aulad (mendidik anak), tidak hanya aktif di dakwah masyarakat saja. Keduanya harus seimbang, sebagaimana yang dilakukan Hasan Al Banna. Terakhir, kritik untuk buku ini (sempat-sempatnya...) halamannya tidak cocok dengan daftar isi. Jadi agak sedikit susah ketika mencari halaman tertentu dengan mengandalkan daftar isi.