30 Jun 2011

Menjadi Ibu dari Anakku

Ketika Hanif lahir hingga usianya menjelang 2 tahun, saya berpikir menjadi seorang ibu tidaklah sesulit yang kubayangkan sebelumnya. Hanif kecil sangat mudah diasuh, jarang rewel dan doyan makan. Selain keterlambatan bicara, semua perkembangannya cukup normal. Hanif memang belum bisa memanggil ayah ibu tapi ia senang bersenandung dan sudah hafal abjad di usia 20 bulan. Ayahnya sempat agak curiga ketika Hanif tidak menoleh ketika dipanggil atau melihatnya suka memutar-mutar benda. Namun di satu saat, ia bisa sangat responsif dan bisa dialihkan untuk tidak memutar benda. Ah, anak ini ngga papa koq, pikir saya waktu itu.

Saat usianya 2,5 tahun dan belum juga berbicara selain kata “aduh”, akhirnya saya memantapkan hati untuk membawanya ke Klinik Tumbuh Kembang di Harapan Kita. Hasilnya Hanif dinyatakan bisa bicara tapi tidak digunakannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Padahal fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Hanif sudah bisa menyanyi beberapa lagu, tapi jika ingin sesuatu ia hanya menarik tangan saya atau mbaknya. Selain itu, dokter juga bilang Hanif hanya tertarik pada benda, tidak pada orang. Memang waktu itu ia diminta bermain dan ketika mainannya diambil, ia sama sekali tidak melihat dokter yang mengambil mainannya juga tidak marah, Hanif hanya berusaha menggapai mainannya kembali dan ketika tidak bisa, ia beralih ke mainan yang lain. Lalu saya diberi rujukan untuk konsultasi dengan psikiater. Saya menemui 2 psikiater berbeda dan hasilnya memang ada gejala autis meski spektrumnya ringan. Mendengar semua itu, saya langsung lemas. Saya tahu anak autis itu ada, tapi baru terasa begitu nyata ketika predikat itu tertempel pada anak sendiri. Bulan pertama setelah itu adalah masa-masa yang stresful. Saya sempat merasa di kantor lebih menyenangkan daripada di rumah karena saya bisa melupakan barang sejenak. Hanif yang beberapa saat sebelumnya saya pikir anak yang easy going dan sedikit cuek, ternyata memang ada yang salah dengannya. Benar jika dikatakan bahwa penerimaan akan suatu kondisi tergantung pada tingkat ketakwaan manusia. Alhamdulillah, ayah Hanif menerimanya dengan lebih baik dan mendorong saya untuk terus berusaha untuk Hanif. Sedangkan saya...butuh waktu beberapa lama untuk bisa benar-benar menerima semua ini dan masih terus berusaha menata hati hingga kini.

Kini hampir setahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana kata “autis” mulai menjadi hal yang akrab di telinga saya. Sejak saat itu Hanif ikut terapi dan hasilnya alhamdulillah kosakatanya semakin banyak dan ia sudah bisa merangkai 2 kata. Memang kemampuan bicaranya masih setara umur 1,5 tahun, tapi bagi saya itu hal yang luar biasa mengingat awalnya saya sempat sangsi Hanif bisa mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata. Kontak mata dengan orang lain sudah lumayan, meski Hanif masih suka asyik dengan dirinya sendiri. Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya memantapkan diri mengambil cuti panjang untuk mengurus Hanif sendiri, keputusan yang juga tak pernah saya bayangkan akan berani saya ambil. Keluar dari kebebasan finansial, meski dibayangi biaya terapi yang tidak murah. Mungkin ini saatnya saya menempa jiwa tawakkal dan semangat pengiritan hehe...

Menjadi ibu dari anakku memberikanku pelajaran berharga

Bahwa menjadi sempurna bukanlah segala-galanya

Dan menjadi berbeda juga bukanlah aib

Menjadi ibu dari anakku mendorongku

Untuk lebih kuat dan terus berusaha

Memupuk kesabaran juga merajut keyakinan

Bahwa Allah pasti punya rencana terbaik bagi hambaNya.

28 Jun 2011

Habibie dan Ainun

Sebenarnya saya sudah lama membaca buku ini tapi selalu ingin menuliskannya. Buku ini memberikan kesan yang mendalam bagi diri saya. Sebagaimana judulnya, buku yang dipersembahkan Pak Habibie untuk almarhumah istrinya ini memang tidak hanya menceritakan tentang Ainun saja tetapi juga tentang Habibie sendiri. Kisah diawali dengan cerita perkenalan mereka yang kocak, kehidupan di Jerman, kiprah Habibie di politik Indonesia sampai pada masa-masa terakhir Ainun, terjalin dengan runtut dan detail. Ciri khas tulisan seorang profesor.

Meski sempat bosan membaca di bagian kiprah Habibie di bidang teknologi di Jerman –well, ini semata banyak istilah teknik yang saya ngga ngerti sama sekali-, buku ini berhasil melihat karakter Habibie dari sudut pandang lain. Sebelumnya Habibie bagi saya selalu identik dengan pro Soeharto dan partai politik gambar beringin. Tetapi buku ini berhasil mengingatkan saya bahwa Habibie adalah salah satu dari sedikit sekali putra bangsa yang memilih meninggalkan kenyamanan di luar negeri untuk pulang dan berjuang memajukan teknologi di negeri sendiri –yang kita tahu sendiri minim sekali penghargaannya pada peneliti-. Kalau pun akhirnya Habibie terjun ke politik praktis, yang saya tangkap adalah lebih karena semangat nasionalisme untuk turut memperbaiki negeri ini bukan untuk kepentingan pribadi. Yah, membaca buku ini sedikit banyak me-refresh kembali memori tentang sejarah Indonesia, hanya saja dari sudut pandang seorang Habibie.

Ainun tidak banyak diceritakan di bagian awal dan tengah buku ini. Tetapi Pak Habibie sering menyebut senyuman Ainun adalah penenang jiwanya. Ainun juga selalu dimintai pendapat ketika sang suami hendak mengambil keputusan apapun. Ainun yang cantik, populer dan menyandang gelar dokter lebih memilih untuk berkonsentrasi pada rumah tangganya. Kiprahnya di bidang sosial –Yayasan Orbit dan Rumah Sakit Mata- pun dilakukannya setelah anak-anak dewasa. “The big you, the small i”, begitulah filosofi Ainun sebagaimana sering disebutkan oleh Pak Habibie yang begitu menghargai peran istrinya yang selalu mengutamakan keluarga. Inilah salah satu yang saya kagumi dari Ibu Ainun. Family comes first... Ketika Ainun sakit, giliran Habibie yang mendampinginya sebagaimana yang selalu dilakukan Ainun terhadapnya selama puluhan tahun berumah tangga. Saat-saat terakhir Ainun membuat saya mengharu biru seolah menyaksikan sendiri betapa besar cinta Habibie terhadap istrinya. Memang akhirnya Ainun berpulang, tapi Habibie merasa ia tetap ada karena jiwanya dan jiwa Ainun telah manunggal. Saya sampai menangis membacanya... Buku ini recommended untuk semua orang terutama yang akan atau sudah menikah sebagai pedoman bagaimana saling mencintai sampai akhir hayat. What a true love...:)

Thx to Yogi untuk pinjeman bukunya.